10. We're Friends?

603 67 55
                                    

Seusai sarapan, Wonwoo bergegas pulang dengan harapan sang bibi dan menantunya sedang shopping atau arisan.

Sialnya hal itu hanya menjadi angan-angan.

Wonwoo pun menjawab seadanya waktu ditanya mereka baru pulang dari mana.

"Dari rumah teman. Bukan Jihoon."

Entah karena dirinya sudah terlalu muak, atau karena sedang tak enak badan sehingga hal sepele terasa memuakkan, keinginan untuk segera angkat kaki dari rumah ini terasa kian memuncak tiap detiknya.

Atau mungkin, karena Wonwoo terbiasa hidup mandiri, jadi di saat keluarga ikut campur urusannya, rasa kesal di hati semakin menjadi-jadi.

"Aku tak mungkin produktif kalau tinggal terus menerus di sini." Gumam Wonwoo setelah berbaring telentang di atas kasur.

Tatapan kosongnya tertuju pada langit-langit kamar, sementara otaknya bekerja keras untuk memikirkan tempat tinggal terbaik yang cocok ia tempati.

"London ...." Gumamnya tanpa sadar. Ah, sial. Kerinduan terhadap kota itu tak kunjung pupus meski akhir-akhir ini merasa terkesan tinggal di negara kelahiran sebab mengenal Moon Junhui.

Wonwoo tak mungkin pulang ke London sekarang-sekarang. Selain karena masih trauma, ia juga masih ingin menghabiskan banyak waktu bersama Junhuinya.

Junhui.

Moon Junhui.

Kerinduan terhadap Junhui anehnya lebih besar dibanding kerinduan terhadap kota yang dikagumi.

'Damn. I've never felt this way before.'

Baiklah, besok Wonwoo akan mulai mencari tempat tinggal yang tak jauh dari restoran Junhui. Semoga ada apartemen yang cocok supaya ia bisa produktif dan sering bertemu dengan sang pujaan hati.

Iya, sekarang tekadnya sudah bulat akan segera angkat kaki dari rumah ini.

Merasa sudah menemukan solusi atas permasalahan, ia pun terlelap, berharap kondisi tubuhnya membaik saat bangun nanti.

Ia bangun tiga jam kemudian.

Setelah mandi, merapikan penampilan dan memasukkan pakaian bersih, toiletries, laptop dan charger ke dalam tas ransel, ia lekas bergegas keluar kamar.

Baru turun dari tangga, ia disambut pemandangan keluarganya yang tengah duduk santai di ruang tengah, bercengkrama, menunggu jam makan malam tiba. Seperti biasa, orang tua Wonwoo tidak ada karena masih bekerja. Sang kakek juga sedang tidak ada, entah mengapa.

Syukurlah, jadi Wonwoo tak perlu merasa bersalah takkan menyantap makan malam bersama keluarganya.

"Aku pamit." Ucapnya seraya membungkuk sopan lalu segera melangkah menuju pintu.

"Hey, kau mau kemana? Kenapa akhir-akhir ini jarang di rumah? Apa kau menghabiskan waktumu di apartemen Jihoon?" Tanya sang bibi dengan raut wajah kesal karena kemarin dan tadi siang merasa diabaikan.

Jujur, hati Wonwoo mulai tergelitik untuk memulai keributan, namun ia sebisa mungkin berusaha tetap mengabaikan.

"Hidupmu nikmat sekali ya, hanya dihabiskan untuk tidur dan main saja. Padahal sudah bukan waktunya kau berleha-leha. Benar-benar memalukan." Lanjut sang bibi sembari membuka halaman majalah fashion yang tengah dibaca.

"Biarkan saja, Ma. Biarkan dia memiliki masa depan yang suram. Tua, hidup sendirian dan tak punya uang. Hiii~ menyedihkan." Sindir menantu sang bibi.

"Sepertinya dia tak tahu harga diri laki-laki itu terletak pada pekerjaannya." Sang sepupu menimpali. Ia baru pulang kerja, terlihat dari pakaian formal yang masih dikenakannya.

Next to Me [WONHUI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang