11. Grieve

4.1K 336 49
                                    

Matahari belum menampakkan dirinya, masih mengintip malu di balik awan mendung pagi ini. Musim dingin belum datang, tapi angin yang berhembus menembus gorden kamar itu cukup membuat Yibo menggigil.

Yibo membuka matanya. Menatap langit-langit kamar dalam diam. Suara angin yang menampar jendela kamarnya samar bisa ia dengar. Tangan kanannya terulur, meraih ponselnya yang sedari tadi tidak berhenti bergetar.

Ada puluhan miscall dan pesan di sana. Yibo tidak mempedulikan semua itu. Ia beralih membuka galeri foto, menatap foto terakhir yang tersimpan di sana. Tanpa sadar sebuah senyum tipis melengkung di bibirnya. Matanya menelisik setiap jengkal dari wajah yang memenuhi layar ponsel itu. Ibu jarinya ikut andil, mengusap perlahan layar ponsel, seakan menyentuh secara langsung objek dalam foto tersebut.

 Ibu jarinya ikut andil, mengusap perlahan layar ponsel, seakan menyentuh secara langsung objek dalam foto tersebut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.







"Maaf Tuan Wang, kami sudah berusaha semampu kami, namun ternyata Tuhan berkehendak lain."

Omong kosong.

Yibo mencengkeram semakin erat ponselnya, kilasan suara dokter kemarin kembali berputar di ingatannya. Seakan baru saja ia dengar.

"Kehendak Tuhan siapa yang ia maksud. Bullshit," gumam Yibo lirih. Ia melempar ponselnya ke samping, membiarkannya memantul di atas kasur sebelum jatuh ke lantai. Tak ia pedulikan.

Yibo melihat jam menunjukkan pukul 10 pagi, lalu melirik ke arah jendela. Tirai di sana tidak tertutup sempurna. Tidak ada cahaya matahari yang terlihat, mendung. Seakan menyamai perasaannya yang kini masih kelabu.

Yibo menghela nafas panjang sebelum bangkit berdiri. Menyeret kakinya memasuki kamar mandi untuk segera bersiap. Kemeja hitam, jas hitam, sepatu hitam, hingga kaos kaki hitam sudah rapi ia kenakan. Ia menatap sekilas bayangannya di depan cermin, melihat tatapan matanya yang begitu sayu dengan lingkaran hitam di bawahnya.

"Dirimu memang pantas mendapat rasa sakit ini, Wang Yibo."

*****

Sebuah bangunan luas dengan banyak aksara China di depannya begitu ramai. Puluhan mobil berlalu-lalang keluar-masuk. Banyak rangkaian bunga berjajar memenuhi jalan, dari parkiran hingga pintu masuk. Dan Yibo hanya melirik sekilas seluruh ucapan karangan bunga yang bernada sama di sana.

Turut berduka cita atas meninggalnya –

Yibo tidak berniat untuk menyelesaikan kalimat itu.

"Anda telah tiba, Tuan Wang. Mari saya antar."

Seorang perempuan dengan rambut disanggul dan rok hitam selutut datang menyambutnya. Dalam diam Yibo mengikuti Wanita tersebut. Melewati beberapa ruangan serupa sebelum sampai di sebuah ruangan paling luas di sana. Beberapa rangkaian bunga yang sama seperti di luar gedung memenuhi sisi-sisi dinding, membuat Yibo mengernyit tak suka.

"Singkirkan semua sampah ini. Aku tak mau melihatnya lagi," ucapnya tak mau dibantah. Wanita tadi mengangguk patuh. Mengetikkan pesan di ponselnya dan kembali mengikuti Yibo memasuki ruangan.

The Chance of Love [Yizhan] END✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang