7. Mereka Baik

1 1 0
                                    

BISMILLAH
HAPPY READING

Selepas memastikan Kumara sudah pulih, dokter mengizinkannya pulang hari ini. Tidak perlu di rawat inap. Lagi pula, Kumara lah yang memaksa agar dipulangkan. Memang sejak dulu penyakitnya hanya kambuh paling lama satu hari. Jika istirahat yang cukup, pasti cepat pulih.

Setelah berkemas, Kumara dan ayahnya pulang naik taksi. Teman-temannya sudah pulang lebih dulu. Masing-masing diantar oleh Kinara sampai depan rumah.

Dalam taksi Kumara terlelap sampai di rumah. Sang ayah membopongnya dan menidurkannya di kamarnya. Esok harinya, badan Kumara terasa lebih baik dan bisa langsung berangkat sekolah. Ayahnya mengantarnya menggunakan motor karena masih khawatir dengan kondisinya, padahal sudah beberapa kali dijelaskan bahwa ia sudah pulih.

Suara motor RX King Cobra sangat menggelegar di telinga. Kendaraan putih tua tersebut berhenti di depan sebuah gedung yang tidak terlalu besar, juga tidak kecil. Terpampang jelas di atas, sebuah relief dinding bertuliskan Madrasah Aliyah Ar-Raudhah menggunakan kaligrafi. Di dalam sana lah anak dari seorang Muaz menuntut ilmu. Seorang ayah pasti berharap bahwa anaknya bisa lebih pintar dari dirinya sendiri, begitu juga dengan Muaz, berharap anaknya mendapatkan ilmu yang bermanfaat di sana. Kalau lah ia memiliki rezeki yang cukup, teringin sekali anaknya dimasukkan ke dalam ponpes. Di ponpes, tentu saja keselamatan sang anak terjamin karena tidak mudah seorang santri putri bertemu dengan santri putra.

Usai bersalaman dengan ayahnya, sang gadis melangkahkan kaki memasuki gerbang sekolah. Sebelum sampai gerbang, tanpa sengaja kepala Kumara terbentur tas punggung seseorang. Orang itu berbalik. Melihat siapa yang di tabrak, keduanya hanya mematung. Tak ada yang berani memulai pembicaraan. Mereka sama-sama tertunduk. Tak ada yang berani menatap satu sama lain.

"Maaf!" Cicit mereka bersamaan.

Diam-diam seorang gadis mengamati mereka dari dalam gerbang.

"Kak Youssef, minta maaf untuk apa?" Tanya Kumara.

"Kemaren kamu sakit karena aku, jadi aku minta maaf," jawabnya. Kumara mengernyitkan dahinya.

"Hah?"

"Kamu sakit karena ketularan aku kan?"

"Ketularan? Oh, gak, penyakitku hanya kambuh aja."

"Memangnya kamu sakit apa?"

Gadis itu bingung menjawab bagaimana. Jika ia katakan sebenarnya, maka Youssef pasti juga tetap merasa bersalah. Meskipun sudah mengetahui perihal penyakit Kumara, dalam posisinya kemaren, pasti memang sulit menentukan, kalau Youssef tidak menyelamatkan Kumara, ia akan terjatuh dan tetap mengalami cedera yang mungkin saja lebih parah dari penyakitnya. Sementara Youssef menyelamatkannya, ia tetap saja masuk rumah sakit. Lalu apa bedanya itu? Masa ia harus berbohong? Berbohong itu kan dosa. Toh, lambat laun semua orang pasti akan tau tentang penyakitnya, mengingat ketiga temannya sudah tahu dan malah sudah tersebar di seluruh kelasnya.

Kumara juga kaget saat melihat pesan beruntun masuk di ponselnya tadi pagi. Rata-rata dari teman sekelasnya yang sudah dari semalam. Apalagi ia belum sempat membuka ponsel.

"Intinya ..., gejalanya muncul ketika bersentuhan dengan lawan jenis yang tidak memiliki hubungan darah," tutur Kumara memilih jujur.

"Jadi bukan karena tertular penyakitku?" Kumara menggeleng.

"Tapi tetap saja itu karena aku, aku minta maaf!"

TAKDIR INSANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang