Eps. 11

74 9 0
                                    

"Sampai kapan kau akan terus-terusan menatap wajahku seperti itu, babe? Apa kau sebegitu rindunya padaku, hm?" tanya laki-laki bernama Zee itu padaku. Aku sudah berada di mobilnya sekarang. Ia tengah menyetir untukku.

Aku tengah berusaha membaca apa yang ada dalam pikirannya. Tapi tak ada apa-apa yang bisa kulihat dan kudengar. Ia seakan seperti sengaja menutupinya atau dia memang adalah tipikal orang yang tidak memiliki bayangan serta pikiran dalam kepalanya. Entahlah. Aku bingung pada laki-laki yang ada disebelahku ini. Terlalu banyak keanehan yang kualami akhir-akhir ini. Terutama semenjak aku tak sengaja menginjak dan memungut kertas usang aneh itu. Semuanya bermula dari situ. Jujur, aku menyesal telah menuruti kemauan kertas itu pada suatu hari saat aku menyerah. Lihatlah akibatnya sekarang, aku kebingungan dengan kehidupan yang kujalani. Meski aku seorang esper yang dapat melihat masa depan serta membaca pikiran orang lain, tapi tetap saja. Aku masih sulit membedakan mana dunia yang asli dan mana yang paralel. Seperti saat ini. Aku bingung dengan laki-laki disebelahku ini. Benarkah dia kekasihku seperti yang ia katakan? Jika benar lantas kenapa aku seperti biasa saja saat berdekatan dengannya? Ini aneh sekali. Aku merasa seperti dia hanya membual dan dunia yang berlangsung saat ini bukanlah kenyataan. Melainkan semesta yang berbeda.

Kita tiba di basement sebuah apartment sederhana. Itu adalah tempat tinggalku.

Aku turun dari mobilnya. Ia tak langsung pergi melainkan ikut turun dan mengeluarkan satu koper besar lagi dari bagasi mobilnya. Aku mengernyit menatapnya dengan penasaran.

"Kita akan bersenang-senang malam ini." ujarnya dengan tersenyum. "Ayo." ajaknya dengan menarik tanganku.

"Tunggu." Aku menahannya sebelum kami berjalan menuju lift.

"Hm?"

"Jujur, aku tidak mengenalmu sama sekali. Siapa kau sebenarnya?" Kutanya ia sambil mencoba sekali lagi membaca isi pikirannya. Susah. Bahkan melihat apa yang akan ia lakukan dalam beberapa waktu ke depan pun tidak bisa.

"Kau akan segera mengingat semuanya setelah ini." katanya dengan tatapan penuh misterius.

Aku masih bergeming. Memperhatikan koper hitam yang sedang digereknya.

______

Kita berada di depan unit apartment milikku. Sesaat aku hendak membuka pintunya, Zee berjalan menuju ke arah lain. Arah menuju ruangan tempat dimana aku menyimpan mayat diriku dan orang itu.

"Tunggu! Kau mau kemana?" tanyaku dengan menghadang langkahnya.

"Kemana? Bukankah disana adalah tempat kita biasa bersenang-senang. Babe, kau tidak melakukan semua itu sendirian. Ada aku." ucapnya dengan tersenyum lalu kembali melanjutkan berjalan sambil menggerek koper.

"Jadi kau juga tahu tentang ruangan itu?" tanyaku masih dengan bergeming di tempat.

"Kita hanya membantu mereka untuk pulang serta menolong orang yang membutuhkan." sahutnya tanpa berpaling. "Itulah yang selalu kau katakan begitu selesai mengoperasi mereka."

"Operasi?" Aku mengulang penuh tanda tanya.

"Ya. Kau yang selalu mengoperasi mereka. Dan sekarang adalah waktunya kau untuk melakukannya kembali." Ucapnya sesaat tiba di depan pintu. Ia jauh tapi aku masih dapat mendengar suaranya.

Ia membuka pintunya.

"Kau menyimpan kuncinya?" Tanyaku sesaat hampir sampai didekatnya.

Ia melirik kunci kartu ditangannya lalu melihatku. Ia tak menjawab melainkan menarikku masuk dan mengunci pintunya. Ia membuka lemari tak jauh dari pintu memasang masker gas dan memberikannya satu untukku. "Aku tidak mau kau ikutan tewas gara-gara mabuk formalin." ujarnya. Aku mengambil dan turut memakainya.

Ia membuka sleting dari koper yang tadi dibawanya.

Seorang gadis yang kulihat entah dalam mimpi atau bukan. Meringkuk dalam keadaan tubuh penuh luka dan lebam.

"Ini." Zee menyodorkan pisau padaku. "Ambil jantungnya. Hanya itu satu-satunya benda paling berharga yang ia punya."

Aku menautkan alis sambil menggeleng. Tapi tanganku mengambil pisau tersebut.

Apa ini? Tanganku bergerak sendiri, kah?

"Marsha, ampuni aku, Marsha. Aku----" Ucapan gadis itu tidak terdengar lagi sesaat aku menebas lehernya hingga kepalanya terpental ke ujung ruangan.

Prok! Prok! Prok!

"Meski otakmu melupakannya tapi tubuhmu masih ingat dengan kebiasaan lamamu."

"Kebiasan lamaku?"

•••










Ditulis, 23 Maret 2023

Past Recording [48] | EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang