[02]. HARAPAN

46 8 0
                                    

"Harapan memang sangat menyiksa. Tapi ada kalanya harapan memberikan sebuah jawaban."
-Unfinished Story-

***

HALAMAN rumah sederhana dengan berbagai tanaman bunga menghiasi teras langsung menyambut kedatangan Ayana, Damar dan pemuda yang menolong Ayah dan anak itu. Ayana berjalan lebih dulu disusul oleh Damar yang berjalan beriringan dengan pemuda itu.

Ayana hendak mengetuk pintu, namun pintu tersebut terbuka lebih dulu, menampakkan seorang wanita paruh baya dengan senyuman hangat. "Ayana..alhamdulillah Ibu bisa ketemu kamu lagi Nak." wanita itu memeluk Ayana erat dengan wajah yang begitu bahagia. Dilihat dari wajahnya, beliau sangat mirip dengan Ayana bahkan senyumannya juga begitu identik.

"Kenapa ngga ngizinin Ibu jemput ke rumah sakit? Ibu kan pengen cepet-cepet ketemu kamu Na." ujar Ibu mencurahkan isi hatinya. Pasalnya dua jam lalu dirinya mendapat telfon dari putri sematawayangnya itu untuk tidak perlu menjemput ke rumah sakit dan cukup menunggu dirumah saja.

"Ayana ngga mau Ibu kecapean. Yang penting sekarang Ayana kan udah nyampe rumah dengan selamat." tutur gadis itu diakhiri senyuman hangat.

"Iya deh. Eh ini siapa Na? teman kamu?" tanya Ibu beralih menatap pemuda yang berdiri disamping suaminya.

"Oh ini Bu, dia yang nolongin Ayah sama Ayana Bu. Tapi sekarang dia mengalami amnesia dan—keluarganya ngga ada yang menjemput—" beritahu Ayana, "boleh ngga Bu, kalau—dia tinggal disini untuk sementara waktu?" tanya Ayana sedikit ragu.

Ibu tersenyum mendengar niat baik putrinya, "tentu Na tentu. Kalau bukan karna dia, mungkin Ibu ngga akan bisa ketemu kamu sama Ayah lagi." tutur Ibu tersenyum pada Ayana kemudian beralih menatap pemuda itu, "nak, Ibu sangat berterimakasih kamu sudah menolong suami dan putri saya. Dan kamu bisa tinggal dirumah ini semaumu. Gausah sungkan ya?"

"Terimakasih Bu."

"Ya sudah ayo masuk." ujar Damar setelah sekian lama diam.

Ayana dan Ibu berjalan lebih dulu disusul oleh dua laki-laki berbeda usia itu. Interior sederhana langsung menyambut kedatangan keempat orang itu. Beberapa pajangan foto dan kaligrafi mengisi dinding rumah berwarna putih tulang tersebut.

"Ayuk makan dulu, udah Ibu siapkan." ucap Ibu melanjutkan langkah menuju ruang makan.

Kini semuanya sudah duduk rapi di ruang makan. Dengan Ayana disamping Ibu berhadapan dengan pemuda itu serta Ayah. Ayana memicingkan matanya melihat bandul kalung pemuda itu yang terbalik menunjukkan ukiran huruf R.

"R?" gumam Ayana pelan namun bisa didengar oleh Ibu.

"Kenapa Na? R apa?" tanya Ibu.

"Itu Bu, liat deh kalung yang dia pake, ada ukiran huruf R nya." tutur Ayana memberitahu membuat sang Ibu ikut memperhatikan dengan teliti kalung yang dipakai pemuda itu.

"Iya Na. Kamu bener. Mungkin nama dia diawali dengan huruf R." ucap Ibu beralibi.

Ayana manggut-manggut mendengar ucapan Ibu, "Em—gimana kalau kita tetapin nama buat kamu? ya biar enak gitu manggilnya." ujar Ayana pada pemuda itu.

"Boleh." sahut pemuda itu dengan senang. Paling tidak ia harus memiliki nama untuk tinggal bersama keluarga Ayana.

"Biar Ayah yang ngasih nama.." Ayah tampak mengusap-usap dagunya memikirkan nama yang cocok, "Darjo gimana? kalau dipanjangin jadi Damar Sutejo haha.." ujar Ayah bergurau diakhiri dengan tawanya.

"Ayah ini.." ucap Ibu geleng-geleng mendengar ucapan jenaka suaminya.

"R? hm—Raga aja gimana?" pemuda itu langsung tertuju ke Ayana. Nama tersebut terdengar bagus menurutnya. Bukan cuma pemuda itu, bahkan Ayah dan Ibu juga ikut menoleh ke Ayana.

REGAR : Unfinished StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang