[27]. TAKARAN KASIH IBU

30 3 0
                                    

"Sedewasa apapun seorang laki-laki, ia akan tetap membutuhkan seorang ibu yang mau mendengarkan keluh kesahnya."
-Unfinished Story-

***

KETUA klub fotografi berdiri ditengah-tengah anggota klub sembari menerangkan acara yang akan diadakan didalam klub mereka. Panggil saja Tama—laki-laki itu sudah hampir tiga tahun menjabat sebagai ketua klub fotografi, dan ia merupakan mahasiswa semester lima.

"Oke guys, gue ngumpulin kalian semua disini karena rutinitas tahunan klub ini melakukan tugas bersama. Gue udah netapin konsep sama wakil, sekre dan bendahara yang nantinya akan kita garap sesuai kelompok masing-masing ya. Oke untuk pembagian kelompok nya, cuma perlu dua orang aja kok didalam sebuah grup, dan seperti tahun-tahun sebelumnya, anggota klub dipilih dari abjad pertama dalam nama kalian. Misalnya A dan B. Baiklah mungkin cuma itu, gue ucapin terimakasih." Tama meninggalkan ruangan tersebut bersama Sana—wakil klub fotografi.

Ayana menegok kesana-kemari, ia bahkan belum terlalu mengenal anggota-anggota klub itu. Nama-nama mereka pun Ayana belum terlalu tau. Sepertinya hanya Bumi yang ia ketahui namanya. Lalu Ayana harus berbuat apa, ia bingung bukan main. Ayana menoleh ke kiri melihat Bumi yang asik bermain ponsel sambil duduk bersila dilantai. Sepertinya laki-laki itu tidak mendengarkan ucapan Tama untuk memilih anggota kelompok.

Ayana memantapkan hatinya untuk berkelompok dengan Bumi. Sebelum menghampiri laki-laki itu, Ayana menarik nafas panjang dan menguatkan niat baik nya itu. Lagipula untuk nama, Ayana dan Bumi merupakan abjad yang pas bukan.

"Ekhem!" Ayana berdehem berharap Bumi menyadari kehadirannya. Namun nihil, laki-laki itu malah semakin asik dengan benda pipih sejuta umat itu. "Mas!" panggil Ayana pelan.

"Mas!" Ayana menepuk tangannya sekali ke wajah Bumi. Spontan laki-laki itu mendongak melihat ke Ayana.

"Mas, mas, nama gue Bumi bukan Dimas!" ketus Bumi sembari beranjak dari duduknya karena disekitar mereka hanya tersisa beberapa orang. "Kenapa? Mau minta foto?" Bumi menaik-turunkan alisnya tanpa dosa.

"Kamu ini selalu aja keegeran! Dengerin saya bicara dulu, kenapa sih!" Ayana menghela nafasnya, "Saya mau Kamu sekelompok sama saya." ujarnya diakhiri dengan menunduk dalam.

"Hah? kelompok apaan? emang bang Tama bilang apaan tadi?" beo Bumi. Sepertinya laki-laki itu terlalu sibuk dengan ponsel sampai informasi penting yang disampaikan Tama tidak terdengar olehnya. Tau sendirilah kalau orang sudah bermain ponsel, berasa duni milik sendiri.

"Kita semua dikasih tugas kelompok, dan anggotanya harus memiliki nama sesuai abjad." jelas Ayana mencoba untuk sabar.

"Oh..terus kenapa harus gue? lo kan bisa sama yang lain." ujar Bumi dengan enteng.

"Mereka sudah berpasang-pasangan. Lagi pula saya belum terlalu mengenal mereka."

"Terus emangnya lo terlalu kenal gue ya?"

Ingin sekali Ayana menghantamkan kepala Bumi ke tembok detik ini juga. Namun perempuan itu berusaha menahannya karena ia membutuhkan bantuan laki-laki menyebalkan itu. "Memangnya kamu sudah memiliki kelompok?" tanya Ayana dengan senyuman sedikit dongkol.

Bumi menggidikkan bahunya santai, "gue sendiri juga fine. But, sama lo, not bad lah. Gue duluan." Bumi melenggang pergi begitu saja meninggalkan Ayana yang kesal setengah mati dengan si Bumi itu. Namun lagi-lagi Ayana harus meredam amarahnya.

***

Sinar mentari tampak menerobos celah-celah jendela kamar Regar. Pagi ini tentunya berbeda. Ia kembali ke setelah pabrik alias kembali kerumah Bunda. Regar menyibak selimut yang membungkus tubuhnya. Matanya mengerjab beberapa kali kemudian memutar pinggangnya sampai berbunyi 'krek', barulah ia beranjak dan langsung menuju jendela. Tangannya menggeser gorden yang menutupi. Seketika sinar mentari menyambutnya dengan hangat membuat Regar menaikkan tangannya menahan kesilauan. Dihirupnya udara segara pagi ini dirumah Bunda.

Regar menatap bangunan tinggi disebelahnya. Halaman yang cukup luas dengan berbagai tanaman bunga disana, dan terlihat dua mobil dengan warna berbeda terparkir rapi disana. Regar kembali mengingat pesta semalam. Ternyata ia tak sendirian, semua orang sangat menantikan kehadirannya. Apa Regar udah salah, karena memilih tinggal dengan Ayana selama ini? Gatau kenapa, perasaan tak enak kembali menghantui kepala Regar. Sepertinya sejak insiden jatuhnya pesawat beberapa bulan lalu, sifat Regar menjadi sedikit sensitif, dan kalau ada sedikit masalah ia pasti terus memikirkannya tanpa menemukan penyelesaian.

Tiba-tiba suara ketukan pintu membuat Regar terbuyar dari lamunannya. Ia bergerak menuju pintu kamarnya dan memutar knop pintu tersebut. Terlihat Bunda disana dengan senyuman hangat.

"Kamu udah bangun atau kebangun pas Bunda ngetuk pintu?" tanya Bunda. Dilihat dari penampilannya, putranya itu masih berantakan tetapi cara tatapnya terlihat sudah bangun sejak tadi.

"Udah dari tadi kok Bun. Cuma lagi liat taman dibawah aja hehe.." ujar Regar diakhiri dengan kekehan.

"Yaudah sarapan dulu yuk. Bunda udah masak."

"Iya Bun. Lima menit lagi Aku kebawah."

"Yaudah Bunda kebawah dulu ya."

Setelah lima menit berlalu, Regar sudah selesai mencuci muka dan merapikan tempat tidurnya, laki-laki itu langsung turun kebawah. Sesampainya diruang makan, ia melihat Bunda sudah duduk disalah satu kursi makan. Meja bunda yang dikelilingi dengan enam kursi hanya terisi satu. Regar tersenyum getir, berarti selama ini Bunda nya selalu makan sendirian. Masih mending kalau Alina menginap, kalau tidak tentu saja Bunda makan seorang diri.

"Bunda," panggil Regar sembari menarik satu kursi didekat Bunda.

Bunda mendongak sembari tersenyum melihat kedatangan Regar, "Eh, sini sini."

Regar mendudukkan dirinya dikursi tadi, "Bunda emang selalu makan sendirian gini?" tanya Regar.

"Iya lah. Mau sama siapa lagi. Anak-anak Bunda 'kan udah pada nikah," cerca Bunda seadanya.

Regar semakin merasa bersalah waktu itu sempat menolak permintaan Bunda untuk kembali tinggal bersama beliau. Ia menunduk sembari mengulum bibirnya. "Maaf ya Bunda. Waktu itu Aku sempet nolak untuk kembali ke Bunda. Aku bener-bener ngga mikirin perasaan Bunda sama sekali."

Bunda menarik tangan Regar kemudian menggenggamnya erat. "Semua manusia itu pasti berbuat kesalahan, karena sejatinya manusia bukan makhluk yang sempurna. Begitu juga dengan Kamu, Regar. Tapi Bunda ngga peduli Kamu yang kemarin, Bunda boleh kan egois untuk percaya sama Kamu yang sekarang?" tanya Bunda.

"Lagipula waktu itu kan Teteh Kamu masih disini. Jadi Bunda ngga sendirian kok. Jangan dipikirin ya. Bunda ngga mau Kamu mikirin hal yang ngga bisa Kamu pecahin." Bunda seolah-olah tahu apa isi kepala Regar. Mungkin inilah yang disebut dengan firasat seorang Ibu terhadap anaknya.

Regar menganggukkan kepalanya, "Aku beruntung banget bisa punya Ibu sebaik Bunda. Makasih ya Bun udah merjuangin Aku untuk lahir kedunia ini." ujar Regar menatap tulus Bundanya.

"Sudah menjadi tugas Bunda, nak. Udah ah ayo dimakan, abis ini katanya mau daftar sekolah paket."

"Iya Bunda."

>> To Be Continue <<

Ehehe akhirnya selesai juga
Mianhee ya harus menunggu lama:')

Btw jangan lupa votmen

Oh iya kepagian ga si update jam segini?
sebenernya Buna kebangun ini hihi eh tiba-tiba kepikiran untuk update:')

See you again yaa

Padang Sumatera Barat
7 Okt 2023

REGAR : Unfinished StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang