21 - Semua Berharap Ini Hanya Mimpi

102 9 0
                                    

Peia berpikir sejenak, bagaimana untuk mengatakan masa lalunya.

"Jadi..." Peia tidak tahu harus mulai darimana. "Jadi... awalnya, awalnya keluargaku adalah keluarga bahagia. Em.. setidaknya sampai usiaku lima tahun?"

Liam mengangguk, ia memiliki banyak pertanyaan, tapi belajar dari Peia yang selalu diam mendengarkan, ia mengikutinya.

"Setelah itu, ayah dan ibu bercerai. Clio ikut dengan ayah dan aku ikut dengan Ibu."

"En." Liam mengangguk.

"Ibu menikah lagi."

"En."

Tangan Peia memijat tengkuknya. "Ibu orang yang baik, tapi tidak dengan ayah yang baru."

"En, sampai disitu saja. Lanjut besok." Liam melihat Peia yang mulai terlihat tidak nyaman. Ia mengelus kepalanya.

Peia sendiri sudah lama melupakan masa kecilnya. Pikirnya itu sudah tidak berarti lagi, hanyalah titik gelap yang menjadi abu-abu seiring waktu. Alam bawah sadarnya merasa tidak nyaman, ia memijat tengkuknya berulang-ulang.

Liam mengelus lengan Peia. "Tidak apa, jangan pikirkan lagi."

Peia juga agak bingung, Ia merasa tidak apa Andai harus melanjutkan ceritanya. Tetapi, melihat Liam yang memintanya untuk tidak meneruskan ia hanya menurut. Ia kembali menekankan, "Itu hanya masa lalu, jangan sampai itu membuamu khawatir."

Liam mengangguk. "Aku percaya padamu, Peia."

Sampai sore ini, Liam sudah berbohong dua kali. Yang pertama adalah tentang nomor kontak Florie. Kak Flo adalah Floriane kakak kelasnya. Yang kedua adalah bahwa ia percaya sepenuhnya pada Peia, tidak, ia lebih percaya diri pada insting dirinya.

***

Peia tertidur lebih dulu bersandar pada bahu Liam pada akhirnya ia yang juga lelah bersandar pada kepala Peia.

Hari baru saja menggelap ketika helikopter Noah Sage dan dokternya tiba di rumah sakit. Mereka segera dibawa ke ruang penyimpanan mayat. Melewati Liam yang baru saja terlelap.

"This kid? Liam, right? Kid, hey."

Liam terbangun, ia melihat sosok lima puluh tahunan dengan kumis dan janggut rapi. "Hm-? Siapa?"

"I'm doctor Silas."

Mata Liam langsung siaga. Ia menyandarkan Peia ke belakang. "And this girl, Peia?"

Liam berdiri, melihat Peia, "How... did you know?"

"Of course, Jes always drew you two. Kid, thanks for waiting here, I'm really grateful."

Liam merasa terusik, jika ada orang sebaik itu di dekat Jes, seharusnya ia tidak perlu merasa begitu menderita. "Now, it's better for you to go. We just here to bring that kid back."

"Where? Where will Jes be burried?" --"Dimana? Dimana Jes akan dikubur?" 

"En. You have my phone number right? Let's talk again later, it's better for you to go right now." --"En. Kamu punya nomor teleponku kan? Mari bicara lagi nanti, lebih baik kalian pergi sekarang."

Liam menggeleng. "I have to know the story. Doctor you tell me, why? He has so many operation scar. He had to eat such a harsh medicine. Why??" --"Aku harus tahu ceritanya. Katakan, kenapa? Jes punya banyak luka operasi, juga harus memakan obat-obatan keras. Kenapa??" 

"I'll tell you later. Now you have to go, your face shouldn't be recognized. Your friend too, bring her with you." --"Aku akan beri tahu nanti. Sekarang kamu harus pergi, wajahmu tidak boleh dikenali. Temanmu juga, bawa dia."

The Untitled Class: Tahun PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang