Sampai kapan sekolah akan terus terasa membosankan? IPA IPS IPA IPS. Beberapa murid bahkan tidak yakin apakah semua ilmu akan bertahan sebelum hari Minggu dimulai.
Rasa takut akan tinta merah membuat mereka mau tidak mau harus bangun pagi-pagi dan pulang sore-sore.
Sebagian dari mereka membuat sekolah sebagai tempat bermain, sebagian lagi menganggap sekolah sebagai ajang kompetitif. Sementara yang lainnya, bersekolah hanya sebagai kewajiban yang tampaknya harus di tempuh.
✽
Pagi hari, kira-kira pukul delapan pagi. Langit begitu cerah dan jam pelajaran kedua baru saja dimulai. Roen—pria berusia 55 tahun turun dari sedan hitamnya di depan lobi sebuah sekolah swasta elit. Kakinya melangkah masuk, sementara supirnya melajukan kembali sedannya ke tempat parkir.
Mata Roen berputar mengamati ruangan lobi, melihat jajaran piala dan piagam serta foto murid berprestasi yang terpajang. Ketika menyapukan pandangannya ke dalam ruangan, matanya terpaku ke pigura besar yang terpajang dekat pintu masuk. Nama "Jonathan Sage" dan foto anak itu ditampilkan begitu mencolok. Bibir Roen berubah menjadi lengkungan sabit sementara sudut matanya menjadi berkerut. Itulah dia, target pertamanya dalam projek ini.
Tanpa terburu-buru, Roen berjalan-jalan, melihat kelas-kelas yang mengadakan kegiatan belajar mengajar. Ia mengamati anak-anak yang tengah memperhatikan gurunya dari jendela kelas. Roen baru hendak berjalan berbalik ke ruang kepala sekolah ketika matanya tanpa sengaja melihat seorang anak keluar dari jajaran kelas sembilan. Anak itu bertubuh kurus tinggi, kulitnya pucat dan memiliki mata yang panjang dan telinga yang besar.
Wajah yang sama yang baru pagi tadi ia lihat dari figura di lobi, Jonathan Sage.
Momen yang tepat sekali! Roen segera membuntuti anak yang berjalan keluar kelas itu. Mencari kesempatan yang tepat untuk memanggilnya.
"Hei, Nak," panggil Roen, tetapi anak itu tidak menoleh. Malahan jalan anak itu semakin cepat mengarahkan dirinya sendiri masuk ke dalam toilet. Roen terkekeh dan berpikir, "Apa ia belum berak tadi pagi?"
Roen menunggu di dekat kamar mandi, di samping tangga. Tidak lama, ia baru bersandar sebentar pada tembok. Ketika anak itu keluar, dan Roen kali ini bisa melihat wajahnya lebih dekat dan jelas. Wajah yang pucat dan ekspresi yang kosong.
"Nak."
Kali ini Roen merasa janggal, bocah itu tidak menoleh bahkan ketika ia sudah memanggilnya dengan jarak tepat berada di sampingnya. Ia meraih bahunya.
"Kamu sehat?" tanya Roen yang antar alisnya jadi berkerut.
Anak itu sedikit tersentak ketika bahunya ditekan, ia segera menoleh.
"Kamu baik-baik saja?" ulang Roen sembari melepaskan pegangannya pada bahu pelajar itu.
Anak itu mengangguk, wajahnya datar, "Ya, saya baik. Bapak ada apa?"
"Aku ingin berbincang denganmu. Apa kamu ada waktu?"
"Ya, tapi saat ini saya hendak ke kantin untuk makan."
Roen terdiam sejenak, melihat ke arah halaman yang sepi, semua anak sedang belajar. Tetapi, di sini ia mendengar anak itu perlu pergi ke kantin? Senyum Roen tersimpul kembali, tingkah pelajar itu justru meyakinkan Roen bahwa anak itu kandidat yang sempurna untuk projeknya.
"Haha, sekolah membosankan, ya? Kenapa? Kau belum sarapan?"
Anak lelaki itu menatap Roen datar, diam agak lama sebelum bertanya, "Bapak siapa?"
"Oh, benar," pembawaan Roen santai dan tenang, ia mengistirahatkan kedua tangannya di belakang badan, "Perkenalkan, aku Roen Eknath. Panggil aku Pak Roen."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Untitled Class: Tahun Pertama
General Fiction#1 Jenius - 27/4/2024 Sepuluh anak jenius mendapatkan tiket emas untuk bersekolah di Sekolah Pendiri Roen secara gratis! Ditambah lagi mereka akan diberi asrama exclusive yang satu kamarnya hanya berisi satu orang dan diberi uang saku! Mari tidak m...