22 - Bangun, Inilah Kenyataan

99 9 0
                                    

Tiga anak untitled jatuh sakit: Clio, Lucas, dan Sheva. Keputusan bersama, kelas untitled di liburkan untuk dua hari.

"Hahaha, Lucas, aku ditampar dan masih baik-baik saja. Lihat dirimu." Liam masuk ke kamar Lucas, terkekeh kecil melihat Lucas yang berkeringat dingin, menyembunyikan tubuhnya dibalik selimut.

"Ish, Liam, haruskah kamu menggangguku?"

"Ada apa di pikiranmu? Katakan."

"Ck, aku hanya memikirkan Aleena."

"Ada apa dengan Aleena?"

"Melihat Jes kemarin, aku sadar kematian terjadi begitu cepat, tidak memberikan waktu lebih dari tiga detik untuk membuatmu mengucapkan selama tinggal."

Liam menekan bibirnya lurus.

"Bagaimana dengan Aleena? Ia saat ini berada di ambang antara hidup dan mati. Sekali selang oksigennya terangkat ia tidak mungkin bisa bernapas dan meninggal. Aku takut sekali."

"Ah, aku takut ia merasa kesepian, tapi aku juga tidak bisa mengatakan apa-apa di sampingnya."

Liam memeriksa suhu tubuh Lucas, "Perlukah aku yang menemaninya? Aku akan memeriksa bagaimana keadaannya."

Lucas melihat ke arah mata Liam. "Bisakah?"

Liam tersenyum tipis, ia berdiri, "Baiklah. Cepatlah sembuh, temanmu yang baik hati ini akan naik kereta dua jam untuk memeriksa keadaan kekasihmu."

"Apa sakit?"

"Hm?"

"Ditampar... pimpinan Mega Sage? Katakan kamu pasti sedikit mengompol?"

"Hahah, beruntungnya, tidak." Liam melihat ke arah kamar Lucas penuh dengan tumpukan jurnal. "Ck, sudahlah, kalau tidak sekarang aku ketinggalan kereta."

"En, hati-hati."

***

"Peia, rasanya tidak nyaman..." Clio menyingkirkan selimutnya karena terasa panas, tapi kemudian ia merasa dingin, jadi ia menyelipkan satu kakinya ke dalam selimut.

Peia sudah menempelkan cooler ke dahi kakaknya. Yang tersisa hanyalah mendengarkan omelannya sebelum ia tertidur. "E-eung, Peia ini tidak nyaman."

"Peiaa.."

Tok-tok! Pintu diketuk sebelum didorong terbuka oleh Liam, bertanya "Bagaimana keadaannya?"

"En, tidak parah."

"Peiaa.. hiks."

Liam meringis, "Masih berisik walau sakit, ya?"

Peia tidak merespon, hanya tersenyum tipis.

"Aku akan pergi keluar kota hari ini. Kembali pukul empat sore."

"En."

"Tolong hubungi aku jika terjadi apa-apa."

"En."

Liam melihat Clio sekali lagi sebelum keluar dan menutup pintu.

***

Liam kemudian mengetuk pintu Sheva. Melihat Sheva yang tidur di ranjangnya, ia masuk dan memeriksa suhu tubuhnya.

Liam menghela napas, "Kurasa kamu juga... tidak sekuat yang kamu perlihatkan, Shev." Liam tersenyum hambar, "Cepat sembuh."

"Liam," Sheva bisa tahu itu Liam dari suaranya, jadi ia memanggil.

"En?"

"Temani aku."

Liam agak bimbang. Ia melihat ke jam tangannya. Duduk sejenak di samping ranjang Sheva.

"Kurasa kamu mudah terpengaruh lingkungan juga? Aku paham mengapa Lucas dan Clio jatuh sakit."

"Apa perlu aku menghubungi saudara atau orang tuamu?"

Sheva menggeleng pelan.

"Baiklah, jangan memikirkan apa-apa lagi, tidurlah."

Liam duduk, melihat isi kamar Sheva. Ia tersenyum tipis, setiap kamar di asrama didesain agar serupa satu sama lain. Tapi kini ia melihat perbedaannya. Kamar Jes penuh dengan lembar-lembar gambar dan buku-buku mesin dan desain. Kamar Lucas lebih terang karena ia senang dengan warna putih, juga buku-buku sejarah, peta dunia, dan kertas jurnal-jurnal. Kamar Clio penuh dengan warna merah. Sedangkan kamar Sheva memiliki jadwal harian ketat yang tertempel di lemari.

Liam kembali melihat jam tangannya. Ia mulai berdiri, melihat-lihat ke arah meja belajar Sheva yang rapi. Kemudian mengamati jadwal belajar dan jadwal hariannya. Juga banyak buku ujian berbahasa Jerman. Ia kagum.

Ia mendekati Sheva, menggoyangkan tangannya ke depan mata Sheva. "Sudah tidur?"

Sheva tidak merespon, jadi Liam keluar dari kamarnya, mengechat Florie untuk memeriksa dan menemani Sheva. Kemudian mengirim pesan pada Amos, meminta tolong untuk menjaga anak-anak untitled sementara dia pergi.

Ia segera keluar dari asrama. Menghabiskan waktu di perjalanannya untuk berpikir 5W 1H kelas untitled kedepannya.

***

Amos menghabiskan waktunya untuk memukuli samsak tinju. Ia merasa kesal. Begitu kesal. Ia tahu ada yang tengah terjadi dengan Jes, ia mendengar doanya, tapi ia mendiamkannya, tidak berbuat apa-apa.

Muna membantingkan tangannya keras ke atas tuts-tuts piano. Ia tidak terlalu dekat dengan Jes, tetapi ia cukup mengerti tentang perasaan Jes dari musiknya. Awalnya ia hanya penasaran, sehebat apa dan seperti apa selera Jes. Ia meminta dari Vivian kumpulan rekaman video seni dari Jes.

Jes mengcover karya J.S. Bach: Prelude No.1, BMV 846.

Tapi irama dan tempo Jes patah-patah dan keras. Awalnya ia pikir karena ia kurang mahir memainkannya, tapi kini ia seolah bisa menduga. Musik yang indah itu patah-patah, karena Jes memaksakan dirinya. Jes tidak benar-benar mengakui akan dunia yang indah dan waktu yang terus berjalan. Ia seolah menahan amarahnya akan setiap kehidupan yang tengah berlangsung di dunia, akan semua memori yang ia punya.

Ina pulang ke rumahnya, ia menangis sejadi-jadinya.

Keempat kakaknya sampai berkumpul di rumah. Mereka sudah dengar akan berita kematian salah satu siswa PR, teman sekelas Ina, yang mereka tidak tahu adalah bahwa Ina menyukainya.

Mereka juga tidak tahu seperti apa kelakuan Ina di kelas, jadi mereka agak bingung ketika Ina bilang ia ingin minta maaf. Mereka pada akhirnya merencanakan liburan dadakan bersama untuk menghibur Ina, sedangkan Ina sudah tidak terhibur lagi. Ibarat luka gores, mereka hanya bisa memberinya obat mahal agar luka gores itu bisa cepat kering dan sembuh, tetapi tidak dengan luka di hatinya.

Luka di hati tidak untuk disembukan dengan harta.

Ia merasa akan terus merasa bersalah.

Sepertinya tidak ada orang yang benar-benar perhatian untuk menyembuhkan hatinya. 




Jangan lupa vote dan komen~

The Untitled Class: Tahun PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang