20 - Apa Yang Harus Dilakukan?

112 9 0
                                    

Roen mengajak anak-anak yang tidak terlalu dekat, yang tidak bisa berhenti menangis, atau pucat untuk kembali ke dorm, beristirahat untuk hari ini, ia sendiri juga harus mengatasi dosen musik yang pembelajarannya terhenti.

Clio sudah histeris, Amos tidak merasa bisa mengendalikan perasaan sedihnya. 

Liam memperhatikan situasi anak-anak untitled. Kacau. Liam harus menunggu di rumah sakit, jadi ia berharap Lucas bisa menemaninya. Akan tetapi, melihat wajah pucat Lucas, ia tidak sampai hati dan menyuruhnya kembali. 

Sheva mendekat ke arah Liam, "Mau aku temani?"

Liam menatap Sheva, sebelum tersenyum tipis, "Kembalilah. Bagi untitled, kamu itu ketua kelas kedua mereka. Mereka akan butuh bantuanmu, aku bisa sendiri."

Sheva terdiam, menatap ke arah teman-temannya yang mulai diajak berjalan keluar. "Perlu aku panggilkan Lucas?"

Liam menggeleng, "Kamu tahu apa yang terjadi dengan Alin. Lucas tidak suka berada di rumah sakit, itu hanya akan menambah beban pikirannya."

Sheva terdiam, tidak ada lagi yang bisa ia katakan jadi ia meninggalkan Liam dan berjalan menjauh.

Liam kembali berjalan masuk dan duduk di ruang tunggu. Ia terdiam begitu lama, menenangkan dirinya sendiri sembari melihat keramaian. Meski begitu tidak lama pandangannya menjadi nanar, dan pikirannya mulai melayang-layang.

"Ini semua wajar, hal seperti ini bisa terjadi. Jes tahu yang terbaik untuknya, iya kan? Ia jenius."

"Apa aku sudah menjadi teman baiknya? Apa Jes akan bilang aku adalah sahabatnya misal ia masih hidup?"

"Kenapa Jes melakukannya? Apa untitled membuatnya tidak nyaman? Aku membuatnya tidak nyaman? Apa aku terlalu memaksa, ya?"

"Apa aku kurang memperhatikannya?"

"Apa aku telah lalai?"

"Seberapa sulit hidupnya sampai ia memilih mati? Apa itu karena sesak? Apa ia merasa kesakitan tiap malam? Apa Jes... merasa kesepian?"

"Kalau kelas untitled tidak pernah dibuat apa Jes akan jauh lebih baik?" 

Setiap memori tentang Jes berputar kembali. Bagaimana anak itu begitu penyendiri. Sama seperti setiap anak untitled yang lain, Jes juga sejak awal tampak keren di mata Liam, mengerjakan 12 ujian berturut-turut. Liam juga ingat bagaimana Jes terlihat tersenyum untuk pertama kalinya di kelas. 

"Aku tidak akan menangis. Aku tidak menangis. Ini semua wajar terjadi, hati kecilku selalu berkata untuk bersiap-siap ketika saat ini datang."

"Kenapa aku bersiap-siap, ya? Kenapa aku tidak mencegahnya?"

Liam berdiri, mengantar diri sendirinya untuk berjalan ke tempat yang lebih sepi. Ia menutup mulutnya berusaha mengendalikan perasaan bimbang, takut, sedih, serta marah yang bercampur. Ia bersandar pada dinding dan berjongkok, kebingungan dengan perasaannya.

Seorang perawat yang melihatnya, mengetuk bahunya, "Nak, kamu tidak apa-apa?"

Liam langsung berdiri, wajah bingungnya segera ia ganti dengan senyum karir.

"Duduklah di kursi jika kamu merasa lelah."

Liam mengangguk. Ia berjalan kembali ke arah ruang tunggu, duduk di sana. Namun, semakin ia diam, semakin pikiran itu kembali merecokinya.

Ia menunduk, menutup wajahnya dengan tangan.

"Liam." Sentuhan di bahu itu membuat Liam langsung menoleh.

Dengan mata sembab, Peia tersenyum, "Aku temani." Ia duduk di sebelahnya. Liam belum menangis sebanyak teman-temannya, jadi Peia bertanya, "Kamu baik-baik saja?"

The Untitled Class: Tahun PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang