Liam berwajah masam ketika hari sudah sore dan Jes sama sekali tidak terlihat. "Apa yang bocah itu lakukan? Mengerjakan PR saja tidak becus."
Lucas justru tersenyum miring, "Tidakkah kamu sudah menduganya? Jes menemani anak itu karena tidak mau bermain dengan kita. Jes tidak pernah peduli kita menunggu atau tidak, seperti biasa, ia punya caranya sendiri untuk menghabiskan waktu."
Liam menjatuhkan kayu-kayu yang dikumpulkannya ke atas pasir, tempat mereka akan menyalakan api unggun. "Memangnya kenapa harus begitu? Apa aku membuatnya tidak nyaman? Kita hanya ingin main bersama, apa Jes juga tidak suka?"
Lucas mengendikkan bahu, "Kita tidak tahu apa yang bocah itu pikirkan."
Clio dan Peia masih berlarian di pinggir pantai.
Membuat Amos berkomentar, "Mereka baru terlihat kembar saat seperti ini."
Sheva membantu Liam menata kayunya. "Tanyakan pada pelayanmu apa yang Jes lakukan jika khawatir."
"Bukan khawatir, Shev. Kecewa. Ia selalu bertindak misterius, tidak memberikan alasan dan kabur begitu saja, melakukan apa yang dia mau seenaknya, orang paling egois di untitled."
Ina mendengus, "Kukira kamu menyukainya?" Liam kan orang yang menjaganya, dan selalu terlihat ingin mengajak Jes bermain bersama.
Liam menatap ke arah Ina, "Ya suka, tapi-hm. Bagaimana mengatakannya... Jes itu... sudah didekati saja masih terasa jauh."
Liam mengalihkan pandangannya ke arah Peia dan Clio yang masih bermain di dekat deburan ombak. "Florie, bisa panggil mereka untuk kemari? Hari sudah hampir gelap."
"Wlek, kakimu pendek sih, tidak bisa berlari secepat aku!" Clio masih berlari, membuat cipak-cipakkan deburan air sebelum berbalik dan menendang airnya menciprat ke arah Peia. "Hahah, basah tuh rok!"
Peia merasa sebal dengan tawa kakaknya. Ia mengayunkan kakinya pada air juga, tapi airnya tidak mengenai kakaknya.
"Gimana Peiaa, gak becus? Gini loh!" Clio mengayunkan kakinya keras hingga airnya sampai ke baju Peia.
"Hngg, kak!"
Peia baru ingin membalas ketika Clio sudah berlari semakin jauh. Terbawa suasana, Peia tanpa berpikir panjang berseru, "Clio!"
Clio memelankan larinya sebelun berbalik. Senyum dan tawanya hilang, menatap Peia tanpa gairah.
Peia mencipratkan air dan tertawa tipis, "Ayolah, kita hanya berbeda empat jam!" Peia masih ingin bermain sebelum wajah serius Clio mengintens ketika berjalan dua langkah mendekat ke arahnya. Senyum Peia ikut surut, ia juga tidak terima dipandang begitu galak hanya karena memanggil nama kakaknya.
"Oh, begitu?" Clio benar-benar marah membuat Peia tidak mengerti, "Sungguh? Kamu berani ulang?" tantang Clio yang membuat adiknya itu langsung terdiam seribu bahasa.
Setelah beberapa saat, Clio menghela napas sebelum berjalan mendekat ke arah Pia hanya untuk melaluinya, berjalan kembali ke tempat Liam.
Deburan ombak tergiring ke kaki Peia, tapi gadis itu hanya melihat kakaknya melaluinya, tidak ada lagi cipratan air. Awalnya ia bingung, lalu kesal, kemudian merasa bersalah.
Peia merasa sedih melihat punggung kakaknya yang menjauh.
Ia hanya bercanda, ia hanya menggunakan itu karena ia pikir Clio akan menoleh. Kenapa jadi seserius ini?
Kakaknya itu memang mudah kesal tapi jarang sekali marah, apalagi dengan dirinya.
Hanya masalah nama saja... Tiba tiba kakaknya marah, Peia tidak mengerti.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Untitled Class: Tahun Pertama
Ficción General#1 Jenius - 27/4/2024 Sepuluh anak jenius mendapatkan tiket emas untuk bersekolah di Sekolah Pendiri Roen secara gratis! Ditambah lagi mereka akan diberi asrama exclusive yang satu kamarnya hanya berisi satu orang dan diberi uang saku! Mari tidak m...