Jaga Omongan

188 38 4
                                    

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).

━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━

Siang yang tenang setelah sepagian membereskan wilayah panti. Waktu bebas begini biasanya dipakai untuk tidur siang, walau tetap ada santri-santri dengan energi kelebihan yang mengobrol atau bermain.

Kalau santri kelas 12 sih, sudah jelas belajar, tetapi ada pula yang tidur.

“Gua tetep gak paham!” seru Iwaizumi.

“Astaghfirullah, Iwa ....” Oikawa memijat keningnya frustrasi.

“Ya maaf, tapi gua gak paham! Jelasin ulang!”

Oikawa menatap sahabatnya sejak zaman embrio itu dengan lelah. “Kok lu yang ngegas, sih? 'Kan gua yang capek ngajarin!”

Kuroo yang juga tengah mengajari Bokuto terkekeh. “Iwa mah setelan pabriknya udah begitu, coy. Gak ngomong dia kalo gak ngegas.”

“Bagus! Itu tandanya bersemangat! Hey, hey, heyy!” sahut Bokuto.

“Gak usah ikut ngomong lu. Kerjain yang bener!” Kuroo memelotot galak. Bukan hanya Oikawa, Kuroo pun setengah mati mengajari Bokuto tadi.

Iwaizumi memutar-mutar pulpennya sambil memperhatikan soal-soal yang tertera di kertas. “Oik, kalo lu udah capek, ya udah deh. Nanti gua tanya yang lain aja,” final Iwaizumi.

“Mau nanya siapa lu? Kuroo udah overload ngajarin Bokuto, terus Kita ngilang.”

“Gampang, ah. Tinggal tanya Ustadz Tengen. 'Kan beliau yang ngumpulin sama ngasih latsolnya.”

Dengan segera Oikawa merebut pulpen di tangan Iwaizumi, kembali bersiap dengan posisi hendak mengajari. “Gak. Lu nanya Ustadz Tengen yang ada disuruh ngejamet bareng,” larang Oikawa, “gua mah ogah ya, liat lu jadi jamet kayak Aryu atau Atsumu.”

“Siapa juga yang mau jadi jamet.” Iwaizumi merotasi bola mata.

“Gua aja pokoknya yang ngajarin! Dengerin, nih.” Oikawa mengetuk-ketukkan pulpennya ke atas kertas soal.

Baru saja Oikawa hendak mengeluarkan kata pertama, suara ribut dari asrama kelas 11 membuatnya batal menjelaskan.

“MINGGIR ANJING!”

“LU YANG MINGGIR BANGSAT!”

“Astaghfirullah ... mulut siapa itu kotor banget?” Sugawara yang tengah rebahan langsung beranjak duduk.

Di sebelahnya, Sae tetap fokus membaca, tidak mengindahkan ribut-ribut dari asrama kelas 11. “Paling adek gua sama Shidou.”

Kuroo menggaruk kepalanya yang tidak gatal, heran dengan reaksi Sae yang masa bodoh. “Lu gak ada niatan mau ngelerai?”

“Rin gak bakal kalah, kok. Gua udah ajarin dia biar menang kalo gelut sama Shidou.”

“KUROO BILANGNYA NGELERAI, WOI. BUKAN SOAL ADEK LU MENANG APA KALAH!” Iwaizumi langsung tancap gas. Lama-lama ia gemas sendiri dengan sikap santai dan masa bodoh Sae akan sang adik.

Bokuto cepat-cepat menenangkan keadaan sebelum kelas 12 ikut ribut, “Eh, eh, mending panggil Semi buat nenangin tuh dua anak.”

Sugawara menggeleng. “Jangan. Semi lagi tidur.”

“Kenapa pula harus Semi? Nih, depan mata lu ada yang udah berkali-kali menang lomba karate.” Kuroo menunjuk Iwaizumi dengan dagu.

Kali ini Oikawa yang langsung menggeleng. “Gak. Gua gak mau Iwa masuk penjara karena gak sengaja bunuh anak orang.”

𝗣𝗘𝗦𝗔𝗡𝗧𝗥𝗘𝗡 𝗔𝗟-𝗔𝗦𝗔𝗗Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang