Chapter 2: Jalan Menuju

88 22 5
                                    

"Tapi bukannya hidup itu untuk menjadi apa saja?"
🕛🕐🕒

Berpindah ke pojok belakang perpustakaan.
Tepatnya ruang baca depan lemari coklat tua lama yang bagian bawahnya telah dimakan rayap. Jena, gadis itu membuka lebar-lebar lemari menikmati semburan bau apek mengerumumi hidung, Delima hanya mengekori, tertarik juga melihat tumpukan koran yang diberitahu Mara, memang gadis yang satu itu suka mengeksplor banyak hal di sekolah ini. Yah, mungkin karena itu juga ia mengambil pendidikan olahraga, kulit sawo matang dan tinggi menjulang serta postur tubuh tegap, tak bisa disandingkan dengan Delima, kecil kurus kerempeng yang terlihat akan langsung jatuh kalau tersenggol saja.
Orang-orang sering kali mengejeknya akan terbang ketika angin kencang.

"Liat, nih."

Jena mengeluarkan tumpukan koran menaruh pada tikar hijau, debu menyeruak hidung.

"Buset ni Pak Haji gak pernah bersihin perpustakaan sampe bersih apa ya?"

"Kau yang piket perpustakaan hari ini, seharusnya bantu bersih-bersih," Jena berujar.

"Lah, bukan Delima?" tanyanya.

"Kita berdua, cakep." 

Doni cengengesan, berkilah bahwa "Aku cowok masa disuruh nyapu perpustakaan?"

"Ya kan kau emang cowok, siapa bilang cewek? Lagian emang kalau nyapu tangan kau langsung patah gitu?"

Seperti yang diharapkan dari mulut seorang Delima.

"Oke, ampun nyai."

"Besok bantu bersih-bersih kau."

"Oke, siap salah."

Pak Haji adalah sebutan sayang dari bapak penjaga perpus bernama Hermawan, bapak bujangan guru honorer merangkap menjadi perpustawan. Dipanggil pak Haji, soalnya kadang suka ceramah, tapi sering juga ngegibah. Pokoknya perpustakaan sudah menjadi basecamp anak PPL ketimbang harus berbaur dengan para guru di ruang guru. Ibarat kata sudah bestie anak-anak magang dalam berkeluh kesah perihal sekolah ini.

"Udah, noh kalian baca. Ini ada tiga menggoy di ruang yang sama deh, tengok fotonya," ucap Mara.

Doni memasang wajah serius.

"Masih banyak malah tapi gak kesorot media, yang ketahuan cuma tiga ini aja masuk koran."

Membahas sesuatu mistis saat terjebak
hujan sekolah tengah malam, membangkitkan semangat adrenalin mengelitik perut.

"Serius kau nyet?" Mara melotot kaget.

"Ini juga matinya dibilang bundir semua lho? Apa gak ada yang curiga ini pembunuhan berantai?"

Jena yang otaknya sering susah konekpun mulai membuka teori konspirasi.

"Emang kalau pembunuhan berantai motifnya apa deh?" Delima bertanya.

"Psikopat punya motif haus darah!"

"Kau kira vampir?" sahut Delima.

Mara menyibak-nyibak koran lama yang sudah menguning.

"Ini kalau dicek-cek udah ada sejak lama. Nih tahun 2000an?"

"Oh, iya juga, pas kita masih otw dibikin gak sih ini sama ortu," balas Doni yang mendapat delikan kesal Mara.

"Ini semacam tumbal perangkatan," ucap Doni mulai serius. Mengacak-ngacak tumpukan koran lainnya.

Sekolah ini tampaknya bukan hanya menyimpan piala-piala serta piagam piagam bergengsi. Tumpukan koran di bagian atas boleh saja berisi berita-berita prestasi diraih siswanya, pada tumpukan terakhir rak lemari tua berisi banyak berita-berita tidak mengenakan sekolah mereka.

Monster Ruang 00;00Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang