Chapter 20: Memberi

46 14 7
                                    

"Ada yang bilang kita menerima sebanyak yang diberi. Tetapi rasanya tetap tidak adil sama sekali."

🕛🕐🕒

"Gue liat."

Delima menarik tangan buru-buru, tak mau disentuh Renjana. Pemuda itu berdecak kesal merobek sebagian kemeja depan putihnya.

"Nih pake!" katanya sambil melempar kain mengenai wajah Delima.

"Tutupin, gue risih liatnya."

Delima mendengus, tapi tetap melilit kain putih pada jemari-jemari tangan tersayat, darah merembes hingga mencipta warna merah menembus. Ia tidak ingin ambil pusing, walau sebenarnya perih meradang ketika tekanan pada kain belum mampu meredakan nyeri.

Tetapi ini hanya luka kecil.

Renjana sejujurnya frustasi terjebak berlama-lama dengan Delima, belum lagi gadis itu sangat amat menguji kesabaran. Lebih tidak waras dari dirinya.

"Gak sekalian aja lo potong tangan sendiri?"

"Tangan kau sini kupotong-potong."

Renjana tidak mood berdebat, keduanya mulai berjalan menyusuri gelap jalan mencari-cari sesuatu guna memenuhi ide Renjana dalam membunuh kucing kampret jadi-jadian.

Hening menyergap, tak ada yang mau memulai suara, Delima mengikuti pungung tegap terlihat rapuh milik Renjana dari belakang sembari menendang-nendang kerikil. Suara kendaraan terdengar dua tiga kali ketika lewat, pencahayaan lampu jalanan rasanya tidak mampu membawa rasa terang yang tenang antara keduanya.
Lalu pada malam dingin menusuk tulang, Renjana membawa kembali ke sebuah minimarket 24 jam, alih-alih langsung masuk ke sana, pemuda itu memilih ngemper dulu di depan minimarket.

Terduduk pada lantai dingin, memandang ke depan cukup lama, keningnya berkerut-kerut menimbang sesuatu. Keterdiaman yang begitu cangung. Delima memilih duduk agak jauh dari Renjana. Renjana juga tak masalah akan hal itu, ia mulai sadar bahwa si gadis benci berdekatannya.

Dan Renjana terbiasa dibenci.

"Orang kayak kita ternyata emang sering terluka."
Pecahan kesunyian dari suara berat Renjana terasa sedikit tak nyaman.

Delima berdehem, mengiyakan ucapan Renjana, gadis itu tengah sibuk menatap telapak tangannya hampa.

"Jadi candu."

Delima mendelik seram, ketika Renjana tiba-tiba beranjak dari tempat duduknya Delima berseru "Mau ke mana kau?" ia selayaknya gadis kecil yang tak mau ditinggalkan sendirian.

Renjana menatapnya beberapa saat setengah bingung juga akan kelakuan Delima, namun tak ayal ia menjawab perlahan.

"Nyari cara bunuh kucing jadi-jadian," jawabnya mengedikan bahu, seolah sebelumnya ia tak mengucapkan topik berbeda.

Perut Delima berbunyi cukup nyaring di antara deru angin malam menusuk kulit, jujur saja gadis itu malu akan dirinya sendiri yang kelaparan. Kernyitan pada dahi Renjana terpancar belum lagi senyum remeh menyebalkan terpasang.

"Laper lo?"

Delima membatu, ragu menjawab, jadi ia biarkan saja Renjana yang sudah berlalu masuk ke minimarket. Cukup lama si pemuda dalam sana, berkeliling mencari sesuatu. Ketika suara derit pintu terdengar, Delima mendongak hanya untuk mendapati Renjana menenteng kresek hitam dan kedua tangan memegang cup mi instan rasa soto.

Renjana tak bersuara, kembali ke tempat semula meletakkan satu mi cup dekat Delima.

"Makan."

Delima mengambil canggung, kalau tahu begini seharusnya sebelum masuk ke ruangan 00;00 ia pecahkan dulu celengan tabung gas, agar bisa beli makanan. Yah, siapa duga, Delima kira misinya membunuh atau dibunuh.

Monster Ruang 00;00Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang