"Apakah kita akan jahat jika berdoa kepada Tuhan agar orang yang jahat dijahati balik? Apa benar pada dasarnya semua orang adalah orang jahat."
🕛🕐🕒
"Danau?"
Renjana melongok, memperhatikan sekitar nan lengang, cahaya matahari yang perlahan jatuh memercikan kelauan keemasan permukaan air, cicitan-cicitan angsa. Kepak-kepak sayap burung melintasi angkasa.
"Tumben bagusan dikit."
Delima hirau, memilih menjauh dari pintu toilet umum nan busuk itu. Kakinya melangkah mencari tempat teduh duduk menikmati waktunya sebentar menyaksikan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Itu adalah tempat rekreasi keluarga, seharusnya. Tepi danau dibangun tempat berteduh dengan beberapa deret kursi meja berbentuk jamur, pohon-pohon akasia yang ditanam bertahun-tahun, serta jenis pohon lainnya berbaur.
Ada pentas besar beserta tribun, sering diggunakan dalam acara-acara festival budaya. Ada pula bangunan sedikit lebih ke tengah danau yang acapkali menjadi tempat foto pernikahan.
Jadi satu-satu pikiran Delima adalah pergi ke sana, ke tempat bangunan itu merasakan deru angin melepas penat berpikir.
Sebab ia tahu betul apa yang ia lakukan pada hari itu, begitu persis dalam ingatan. Dengan sepeda keranjang serta ransel sekolah berat, masih mengenakan seragam Delima nekad mengayuh pedal amat jauh menuju danau.
Betapa keringat bercucuran membasahi seragam putih abu-abunya, betapa letih kakinya membawa ke sini.
Modal nekad. Karena ia selalu mencoba begitu.
"Gue lihat ransel dan sepeda lo diparkir bawah pohon."
Delima mengernyit.
"Warna biru, right?"
Gadis itu bergumam lirih, menumpu tubuhnya pada besi pembatas, memainkan pisau cutter pada tangab,
menatap jauh ke depan pada deretan perbukitan serta bangunan-bangunan yang terlihat mengecil. Memejamkan mata, menyesapi sekitar mendengar suara gemersik air.Merekam atau barangkali memutar kenangan mengapa mereka bisa terdampar di sini.
Sejujurnya Delima sedikit kecewa, tapi apa boleh buat.
Perihal adik laki-lakinya satu itu.
Ketika Delima kecil nenek sering kali bilang "Kalau punya anak lagi mamamu itu mana peduli samamu lagi.""Apalagi kalau anaknya perempuan."
Saat itu umur Delima sembilan tahun, berseragam SD dibawah bayang-bayang mengerikan kakak sepupu laki-lakinya yang cabul.
"Kamu ya tinggal dibuang, atau dititip panti asuhan."
Nenek selalu pandai berbicara menyakiti lara, Delima tumbuh dengan memahami setiap ucapan orang dewasa. Disuruh menjadi anak super patuh agar berguna, meski tak mendapat cinta sebanyak yang ia coba kerahkan ke semua. Ia tak mengeluh kepada siapapun, selayaknya sepupu-sepupu perempuan yang kerap bertengkar hebat dengan nenek, lalu memilih hengkang dari rumah. Delima juga berusaha untuk tidak berteriak lantang ketika berdebat dengan Nenek seperti anak-anak dalam buku cerita.
Mulut nenek itu menyakitkan, ia tak pernah sadar, dan kerapkali dengan umurnya yang renta, tetangga akan berpihak padanya sebagai orang tua lemah harus dihormati. Sepatutnya begitu. Jadi kalau pun suatu hari Delima tiba-tiba ditemukan mati terbunuh pada dapur dan nenek satu-satunya orang yang berada bersamanya. Pasti orang-orang tak akan memasukannya menjadi tersangka.
Sebab selain mulutnya berbisa, lidahnya juga bisa manis luar biasa, meratapi kejadian seolah nyata.
Nenek punya sisi baik, sungguh. Delima tak ingin menjadi cucu durhaka karena mengingat hal-hal buruk, tapi entah kenapa sisi jahatnya menyakitinya terlalu dalam, melukai terlalu lebar sejak kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Monster Ruang 00;00
Mystery / ThrillerMatanya menyala dalam gelap gulita Tidak ada yang berani bertanya mengapa Namun yang pasti setiap yang datang menemuinya Selalu pulang dalam keadaan tak bernyawa Delima yang mati rasa datang mempertaruhkan segala Tanpa tahu dia tak sengaja menyeret...