Chapter 12: Renjana

52 19 7
                                    

"Tahu tidak sesuatu yang jahat? Orang-orang akan menganggap suatu kejahatan menjadi hal yang biasa, ketika semua orang melakukan kejahatan yang sama. Pada akhirnya mereka akan memakluminya dan menganggapnya bukan sebagai kejahatan."
🕛🕐🕒

Deru angin menyelinap celah, dari lantai lorong lengang lantai dua berbatas meja dan kursi rusak menjadi pembatas keduanya.

Renjana hanya bersandar, duduk selayaknya bapak-bapak ngopi di teras rumah, menengadah menatap kelabu langit mengantung setiap sisi. Tidak ada yang berbicara setelah keduanya kembali lagi terbuang ke tempat entah apa.

Delima langsung berlari terjatuh-jatuh menghindari Renjana. Gadis itu memilih bersembunyi pada pojokan lorong, menyempilkan tubuh ramping itu pada rongsokan meja rusak.

Renjana tidak bertanya mengapa hanya diam memberi jarak. Napasnya sedikit ngos-ngosan berhasil membawa Delima kabur dari sana, ia hanya memperhatikan punggung gadis itu tungang langang menjauh beberapa saat lalu.

Hingga akhirnya Renjana ikut terduduk dengan penyekat pembatas, menatap langit dalam-dalam menilik dari celah kecil keadaan Delima. Bagaimana wajah kuyu gadis itu bersembunyi pada lututnya, nampak rapuh serta begitu kecil.

"Kita istirahat sebentar ya?" Suara parau Delima terdengar juga, meski mukanya masih bersembunyi dari dunia.

Renjana hanya berdehem kecil meronggoh sakunya guna mendapati satu bungkus roti yang berhasil ia curi dari rumah Delima tadi.

Pemuda itu merasa begitu lapar, maka ia buka bungkus itu hingga suara krecik plastik terdengar. Mengigit, mengunyah pelan.

Tapi lagi-lagi matanya tak bisa untuk tidak melirik keadaan Delima.

Mengembus napas berat, tangannya memotong menjadi dua roti itu, separuhnya ia lemparkan pada Delima hingga mengenai kepala lalu jatuh ke ujung kaki.

"Makan," bilangnya, sambil kembali mengigit sisa potongan miliknya. Delima menonggak menelisik sekitar. Menemukan sekeping roti dalam plastik lantai berdebu. Tangannya bergetar menjangkau membuka bagiannya.

Mengigit susah payah, barangkali selain karena rasa cemas, tidak makan apapun juga menjadi faktor menjadikan tubuhnya lemah letih lesu menghadapi semua ini.

Suara riuh anak-anak berlarian menuju lantai bawah setelah bell istirahat dibunyikan.

Delima dan dunianya yang suram memilih bungkam tak sanggup bertanya ini di mana, sebab jelas sekali ini bukan sekolahnya.

Ketika ia kelas satu SMA, Delima memikir banyak hal aneh. Tentang bagaimana susahnya menjadi perempuan, tentang mengapa ia harus terlahir menjadi anak perempuan, tentang mengapa menjadi perempuan harus sesulit ini?

Terkadang Delima berpikir untuk tidak menjadi perempuan.

Perempuan adalah makhluk paling ribet kata orang-orang, padahal mereka yang menuntut menjadi ribet.

Harus tampil cantik biar tak dianggap kumuh, namun saat semua produk make-up dan skincare digunakan orang-orang menyeletuk "Lebih suka perempuan yang natural."

Padahal cantik butuh ketekunan dan banyak modal, bukan semudah omongan orang saja.

Ketika nanti ia punya banyak impian serta cita-cita yang besar, orang-orang akan bilang itu hanya akan menjadi sia-sia sebab pada akhirnya seorang perempuan seperti Delima akan berakhir di dapur saja. Lalu ketika ada anak perempuan yang tak bersekolah, orang-orang akan beramai-ramai menginjak kepalanya menuntut ini itu bilang bahwa "Menjadi seorang ibu butuh pengetahuan buat mengajari anaknya."

Sejak kecil Delima selalu iri dengan sepupu laki-laki di rumah nenek, selalu.
Selalu sepanjang hidupnya.
Sebab ketika liburan atau sedang acara keluarga, mereka hanya duduk-duduk bermain game di ruang tamu tertawa-tawa, sedangkan Delima harus bolak-balik ke dapur membereskan ini itu, pergi keluar membeli bahan ini itu, harus bantu masak ini itu.
Tidak ada yang memarahi anak laki-laki yang tengah mengacaukan rumah, membuat sampah berserakan sebab akan ada Delima yang menyapu.

Monster Ruang 00;00Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang