Chapter 14: Bertemu Monster Itu

59 21 4
                                    

"Ada dongeng pada setiap diri orang-orang, sangat disayangkan tidak semua orang bisa merangkai kalimat cukup bagus, untuk menutupi kejahatan miliknya sehingga bisa merebut peran menjadi pemeran utama."

🕛🕐🕒

Aroma teh melati menyeruak penciuman, udara dingin dengan sensasi merinding menyambut kedatangan. Sedetik kemudian, ketika kaki Delima telah masuk sepenuhnya ke ruangan, pintu tertutup kencang. Mencipta bunyi mengagetkan memicu detak jantung dua kali lipat.

Napas ngos-ngosan Renjana menjadi bukti betapa tetes-tetes keringat yang jatuh membuatnya sedikit bergetar lemas. Kaki yang sudah selayaknya jeli itu akhirnya tumbang jua ke lantai ruang. Meluruh jatuh.

Delima bersandar pada lemari kayu tua sedikit lapuk, memejamkan mata, menahan nyeri pada perut kirinya yang datang tiba-tiba sehabis berlari. Lalu secara perlahan tubuhnya menyentuh dingin lantai. Menyapu debu.

Lelah. Selelah itu berlari dari masa lalu, sampai ia pikir mereka tidak akan pernah menemukan lagi pintu itu.

"Selamat datang Tuan dan Nona," sambut suara mengalun mengisi keterdiaman rintik hujan luar sana, temaram bertemani lilin yang perlahan habis meleleh.

Sosok kucing kecil bertubuh munggil dengan mata besar berwarna biru menatap mereka seakan sudah lama menunggu. Seakan tahu bahwa keduanya akan datang lagi dan lagi.
Meja bundar dengan teko serta cangkir teh terisi penuh mengepulkan uap hangat siap dihirup menyajikan ketenangan. Entah mengapa terasa selayaknya fatamorgana.

Mata Delima terass berkedut, rambut hitam tebalnya acak-acakan luar biasa, sedikit gerah meski hawa dingin selayak berAC ruangan ini melingkupi sekitar. Peluhnya masih jua menetes keluar.

Tampak pula Renjana yang sudah tepar di lantai kotor bertebarkan kertas memejamkan mata, entah tengah pingsan atau barangkali tertidur sejenak.

Delima tak ingin ambil pusing awalnya sampai entah bagaimana suara dari kucing itu mulai terdengar menyeramkan.

"Bagaimana dengan jalan-jalannya?" tanya si anak kucing, Delima dapat melihat samar-samar gigi taring yang mencuat ketika kucing itu mencoba tersenyum.

Waktu seolah berhenti ketika Renjana secara tiba-tiba melempar sesuatu hingga menancap ke meja tersebut.
Pisau lipat, entah ia dapat dari mana.
Kucing kecil bermata biru itu meloncat ke atas lemari secepat kilat, menciptakan bunyi dari lemari yang bergoyang heboh.

"Berisik."

Renjana bangun dengan aura mode tidak ingin diganggu, sepertinya moodnya terlalu buruk untuk diajak bertempur. Tangannya mulai mengacak rambutnya kian berantakan.
Berdiri mengambil kembali pisau lipat miliknya yang berhasil ia curi diam-diam dari ruang kepramukaan sekolah tadi. Yah, mengutil adalah salah satu kemampuan haram miliknya yang bisa ia banggakan. Hal lainnya, ia bisa membobol celah dengan mudah dengan berbagai trik dari internet serta panduan kriminal dari komik Detektif Conan.

"Monster gila," ucapnya merangkak naik ke atas meja menuju jendela menyingkiran gelas teh tersaji.

"Setelah gue pikir lagi, ide Delima bagus juga."

Delima yang meringsut dipojokan mengernyi tidak mengerti.

"Tuan, Anda tidak boleh menaiki meja karena itu tidak sopan. Oh, hati-hati dengan cangkir tehnya itu sangat rapuh."

Namun Renjana abai, pemuda itu sibuk melihat celah untuk membuka jendela.

"Apa yang ingin Anda lakukan, tuan?"

Renjana berbalik turun.

"Lo cari linggis, atau apapun."

"Hah?"

Monster Ruang 00;00Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang