#4 Toleransi Rasa

222 51 1
                                    

Azelyn tidak sempat berpamitan dengan Jinan karena tadi pagi—Jinan sudah lebih dulu pergi entah kemana. Jadi sebagai gantinya, Azelyn memasak nasi goreng dari bahan-bahan yang dibeli di minimarket depat gedung apartemen. Lalu hasil masakannya diberikan oleh Yesha sekaligus menitipkan nasi goreng punya Jinan.

Habis itu Azelyn pulang ke kosan miliknya, tanpa memedulikan jika papanya masih ada di sana ataupun tidak. Jika iya pun, maka Azelyn bersedia untuk membunuhnya.

Untung saja setelah sampai di kos, hanya ada Windy dan Neira saja di sini. Jadi Azelyn bisa bernapas lega.

"Lo dicariin sama Pak Raka semalem. Gue bingung jawabnya gimana selain bilang kalo lo lagi lembur di kafe," ungkap Neira yang masih menjemur handuk di pagar kos. "Lo ditelpon juga nggak diangkat. Kemana aja? Minum lagi lo sama Marchel?"

"Gue udah nggak minum lagi, Nei. Napas gue suka sesek," sahut Azelyn setelah menghela napas kasar sembari menaruh flatshoes di rak sepatu dekat pintu. Kemudian Azelyn mengunci pintunya dari dalam.

Melihat tingkah acuh Azelyn, Neira sama Windy hanya menggelengkan kepala.

"Gue kadang suka kasian liat Ajel jadi penyendiri gitu," celetuk Windy setelah memanaskan motor di pelataran kos. "Lo ngerasa keganggu nggak, sih, tiap Ajel datang ke sini? Auranya kayak negatif mulu."

"Lo kalo mau julid jangan ajak-ajak gue, Win. Idup lo kalo sehari nggak ngomongin orang, bisa tipes kali, ya." Neira menyibak rambut panjangnya yang masih basah sembari matanya memicing agak sangsi.

Sementara Windy cuma mengerucutkan bibir, sedikit kesal. "Gue cuma nggak mau kosan ini jadi nggak nyaman gara-gara satu oknum doang, Nei. Kos sejuta sebulan bagi gue udah mahal banget buat anak rantauan. Jadi kalo semisal ada yang nggak nyaman, gue boleh protes, dong?"

"Emang apa yang bikin lo nggak nyaman sama Azel?"

Windy menarik satu napas, "Lo nggak tahu kalo Ajel kemarin hampir dilecehin sama Pak Raka, makanya dia kabur?"

"Hah?"




•••



"Sejak kapan lo bisa masak nasgor?"

Jinan menaruh sembarang jaket bomber warna kelabu, duduk di sofa—mulai mengunyah nasi goreng yang katanya buatan Yesha.

"Sejak Kak Azel ke sini." Yesha saat ini tengah menyiapkan diri untuk nongkrong cantik bersama teman-temannya. Merias wajah dan menata gaya rambut yang katanya adalah bentuk dari mencintai diri sendiri.  "Oh, iya, Kak...," Gadis itu menghentikan jemarinya mengoleskan kutek merah pada jari manisnya, kemudian menatap Jinan yang tengah menonton series Netflix, "... menurut lo, Kak Azel itu gimana?"

"Gimana apa maksudnya?"

"Gue suka Kak Azel."

"Lo abis nonton BL Thai, kah?" cerca Jinan, langsung menatap Yesha penuh intimidatif. "Gue nggak setuju punya adek ipar cewek. Lo cari yang lebih ganteng, bisa?"

"Udah nemu."

Jinan melotot kaget ditempat, "Lo punya pacar?"

Yesha mengangguk. "Banyak. Salah satunya Hamada Asahi. Dan satu lagi, sejak kapan lo suka ngurusin orientasi seksual seseorang?"

"JADI LO BENERAN SUKA CEWEK?"

"YANG BILANG GUE SUKA CEWEK SIAPA, ANJING???"

"IH, KOK LO NGEGAS?"

"LO DULUAN YANG MULAI!"

Hening.

Yesha yang sudah kepalang emosi, sementara Jinan hanya mendengus geli. Terjadi adu tatap lima detik sebelum akhirnya Jinan kembali duduk manis menghadap ke televisi. "Lo bisa ajak Azel kesini lagi, kok. Dia cuma kesepian aja," sambung Jinan setelah beberapa detik terdiam.

"Menurut lo, Kak ... apa yang bikin Kak Azel jadi menarik?"

"Ya emang apa? Gue nggak bisa menilai seseorang cuma dalam waktu singkat."

"Terus kenapa lo bisa ajak dia ke apart? Lo nggak bakal tahu 'kan kejadian selanjutnya bakal kayak apa, kalau lo sendiri nggak bisa menilai dia baik apa engga?" Yesha tertawa kecil.

"Gue bisa lihat Yumna dalam diri Azel. Makanya gue percaya Azel itu baik."

Atau mungkin alasan tersebut bakal terdengar sedikit jahat di telinga Yesha. Karena Jinan sendiri juga bingung kenapa dirinya bisa mengajak Azel masuk ke dalam kehidupannya.

bersambung

[✓] Hello, Goodbye! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang