#14 Bukan Tokoh Utama

155 40 1
                                    

"Sejak kapan lo kesini, Jad?"

Lelaki yang diajak bicara hanya mendengus kecil sembari beranjak dari kursi depan ruang 203.

Sementara Azelyn sempat melirik sekilas saja sudah tahu siapa lelaki itu. Ya, lelaki yang sempat menawarkan boncengan karena sudah larut malam. Jaden, kakaknya Rara. Pria kelahiran Semarang yang sekarang sudah menempuh semester enam.

"Sejak lo berdua pelukan," Jaden tersenyum sarkas, atensinya beralih pada Azelyn yang berdiri di belakang Jaden, "sekarang gue paham siapa yang brengsek disini."

Sekali itu Jinan tidak mengerti, "Maksud lo apa? Jaden, lo lagi laper?"

"Yumna deserved, anjing."

Entah tiba-tiba emosinya meledak begitu saja. Tatapan datar penuh tekanan, napas naik turun tidak beraturan. Kedua tangan diam-diam mengepal kuat. Azelyn bisa menyimpulkan bahwa Jaden kecewa.

"Gue beneran nggak ngerti lo kenapa tiba-tiba gini?"

Namun Jaden hanya tertawa saja, jenis tawa—dimana seseorang tengah menahan sesuatu agar tidak meledak begitu saja. "Harusnya lo nggak perlu pura-pura buat jagain Yumna, kalo lo sendiri brengsek gini ... dan kayaknya gue agak nyesel kenapa nggak dari dulu gue deketin Yumna."

Napas Jinan tersekat. Matanya mencoba mencari bumbu-bumbu kebohongan dalam raut wajah Jaden saat ini, tetapi hasilnya nihil. Karena selama ini, Jaden hanya iya-iya saja ketika Jinan dengan bangga menceritakan sosok Yumna kepada teman-temannya.

"Jaden, gue naksir sama tetangga lo. Gue ambil, boleh?"

"Iya, ambil aja. Asal jaga macem-macem."

Ketika dulunya tampak baik-baik saja dan berjalan normal seperti biasa.

"Jaden, lo naksir cewek? Heh, siapaa? Kenalin, dong, ke kitaa! Cantik, nggak? Satu sekolah sama kita, nggak, sih?"

"Kepo bener jadi orang. Ada, lah. Cantik orangnya."

Namun sekarang menjadi berantakan hanya perkara logika versus hati. Pertemanan versus percintaan.

"BRENGSEK! Lo apain Yumna, HAH?!!"

"Gue ... gue juga nggak tau kalo Yumna kepikiran buat lompat dari rooftop."

"Itu semua karena lo peringkat satu! Lo rebut peringkat dari Yumna! Lo rebut semuanya dari dia. Andaikan lo nggak peringkat satu di paralel, dia nggak bakal terjun dari sana, anjing!"

Lalu Jinan baru menyadari sekarang, bahwa mereka jatuh cinta pada satu orang yang sama. Marahnya Jaden pada waktu itu—Jinan bisa menyimpulkan bahwa mereka juga sama-sama terluka.

Andai saja Jinan bukan peringkat satu, dia tidak akan melihat Jaden seperti ini.

"Lo emang selalu menyia-nyiakan orang yang udah anggep lo rumah, ya?" decih Jaden sembari matanya tak luput menatap Azelyn, "sialan."

Kemudian Azelyn terpaku ditempat. Dimana ingatannya kembali pada kemarin lusa—ketika pertanyaan tiba-tiba melintas dibenak Jaden saat perjalanan pulang mengantarnya.

"Gue nggak pinter nebak, tapi lo pasti punya orang yang anggep lo rumah, kan? Soalnya lo punya gelang pelangi yang tandanya lo punya motivasi untuk bertahan karena sesuatu."

Dan bagaimana semua terasa jelas dan masuk akal.

"Mas Jaden lagi suka sama orang lain dan Kak Azel nggak akan bisa jadi pemenangnya."

Lalu pada detik selanjutnya, suara pendeteksi jantung terdengar nyaring sehingga atensi mereka sepenuhnya ke arah kamar 203. Para tenaga medis berlari ke pusat suara itu datang. Jinan yang ingin masuk ke dalam, tiba-tiba terhenti begitu lengannya dicekal oleh Jaden.

"Mulai sekarang, Yumna nggak butuh lo lagi. Karena gue sendiri juga mulai muak sama lo, Ji."

•••

Motor Jinan sudah melaju meninggalkan Azelyn di depan gang kost. Angin malam cukup membuatnya merasa hidup. Gadis itu menghela napas panjang, menatap rembulan yang bersinar dibantu bintang-bintang lainnya.

Kemudian langkah kecil itu menuju depan gerbang dimana pada saat itu juga dahi Azelyn mengernyit. Ada mie ayam yang dibungkus plastik hitam masih hangat, tanda baru saja dibeli. Ia tidak tahu mie ayam itu milik siapa, dan kebetulan Azelyn melihat Salwa—tetangga kamar kost, baru saja pulang membeli camilan.

"Sal, ini punya siapa?"

Salwa juga ikut mengernyit. "Nggak tau, Kak," Jeda, "Oh, iya ... tadi aku ketemu Mas Ajun pas mau pulang, dia lewat sini—keknya dia tau soal ini."

Terdiam sejenak, akhirnya Azelyn hanya mengangguk paham. Lantas dirinya mengambil plastik itu, dan membuka gerbangnya disusul Salwa di belakang.

Azelyn mengambil mangkuk karena kebetulan juga masih lapar. Menuangkan mie ayam ke dalamnya sembari membuka laptop dan mengerjakan tugas yang belum sempat diselesaikan.

Tiba-tiba satu notifikasi masuk, Azelyn langsung mengeceknya.

Ajun: lo uda pulang?

Azel: udah, makasih ya

Ajun: buat apa? tumben, wkwkw

Azel: ya gapapaaaa, pengen bilang makasih ajaaa hehe

Ajun: aneh, lo ga lagi sakit kan? biasanya orang kalo mau mati tbtb jdi orang baik. rest well dah lo

Azel: ENAK AJAAA, GUE WARAS YAAA??!!!

Ajun: wkwkw iya deh, good night

Azel: too^^

Kemudian handphonenya dikunci. Azelyn kembali menghela napas panjang, menatap layar laptop. Ingatannya kembali tertuju saat di lobi rumah sakit.




bersambung

[✓] Hello, Goodbye! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang