#16 Lilin yang Hilang

184 42 1
                                    

Dalam kamus hidup Arjuna Wisastra, dirinya tidak mengenal kata "cinta" dan "jatuh". Dua kata tersebut selalu berdampingan, tetapi sekarang  Ajun malah lebih memilih "jatuh" ketimbang "cinta".

Bagi seseorang yang terlalu percaya pada hal-hal realistis, tentu anggapan soal asmara akan menjadi hal paling ribet di dunia. Lalu Ajun setuju, sebab dirinya sudah pernah mencoba ketika mengenal Azelyn kemarin sore.

Namun semakin mengenal Azelyn, Ajun tidak perlu menjadi orang lain. Dia bisa menjadi diri sendiri, bukan orang lain yang ingin dianggap lebih dari segalanya. Bukan orang dengan sejuta kelebihan. Bukan orang yang sering pura-pura tersenyum ketika tengah mendengarkan obrolan dari lawan bicara.

Hanya sosok Ajun si pendengar dan pembicara handal melalui pikiran yang mengandalkan logika ketimbang perasaan.

Lalu Ajun berpikir sekali lagi, jika dirinya mengandalkan logika—tentu saat ini lelaki itu lebih memilih duduk manis di belakang etalase konter sembari bermain game online karena sepi pembeli. Bukan tiba-tiba mengambil jaket denim, memakai sendal asal-asalan, menyalakan motor, lupa menutup konter dan pergi melaju ke tempat kost putri karena baru saja mendapat kabar bahwa Tuan Putrinya terluka.

Pikiran Ajun saat ini tengah kalut, beberapa kali berdoa dalam hati agar kalimat "gue baik-baik aja" bukan sekedar kalimat bohong yang biasa dilakukan manusia sok kuat.

Sampai tibanya Ajun di depan kamar kost Nadia, barulah Ajun mengambil napas dalam-dalam seperti tengah dikejar deadline mata kuliah. Sementara sosok gadis 20 tahun merebahkan tubuhnya sembari menggulir layar ponsel tiba-tiba sedikit tertegun melihat penampakan Ajun cukup berantakan.

"Emang siapa yang ngide pake motor sendirian buat observasi, malah ujung-ujungnya jatuh ke aspal cuma gara-gara menghindari kucing nyebrang? Lo nggak tau kedepannya bakal kayak gimana, jadi kalo ada apa-apa bisa minta bantuan gue. Gue bisa, kok, antar-jemput lo ke PAUD, TK, bahkan KB sekalipun diujung Kota Jakarta."

Napas Ajun kembali terengah, meraup wajah dan menatap sinis ke arah Azelyn.

Kata-kata Ajun barusan hanya dibalas kalimat, "Maaf. Gue tadi buru-buru banget. Jadi nggak sempet telpon lo."

Ajun mendecih pelan, "Ya seenggaknya chat aja, gue fast respon, kok. WiFi lancar jaya. Jangan kayak gini lagi...," Jeda, "... gue nggak suka."

"Yauda, iyaaa. Berisik," tukas Azelyn menggembungkan pipinya, "sekarang anterin gue ke TK Kartini, dong. Gue—"

"Dalam keadaan kayak gini?" Ajun menggeleng tegas, "engga, ya! Lo harus istirahat dulu. Kalau perlu, kita ke rumah sakit buat check keadaan lo parah apa engga."

"Jun, gue nggak apa-apa, please. Rumah sakit apaan? Kaki gue nggak kenapa-kenapa, cuma keseleo doang. Ntar juga sembuh."

"Bocil dibilangin ngeyel, bener!" decak Ajun, "Zel, gue kalo lagi nggak baik hati udah ditinggal nge-game. Bodoamat mau kaki lo patah, biar jalan ngesot sekalipun, gue nggak peduli."

"Ih, kok lo gitu???"

"Ih, kik li giti," Ajun mengulang kata-kata Azelyn setengah mengejek dengan wajah menyebalkan. "Ya gue kenapa?!"

Terdiam sejenak karena tidak mempunyai alesan lagi, akhirnya Azelyn mengangguk pasrah. "Yauda, oke. Tapi gue udah ngomong sama Kepala Sekolah kalo mau observ hari ini. Emang nggak ap—"

"Iya. Nggak apa-apa. Nanti gue yang bilang. TK Kartini, kan? Budhe gue pengajar disana."

"KOK LO NGGAK BILANG??" Azelyn hampir terlonjak jika tidak ingat kalau kakinya tengah sakit.

[✓] Hello, Goodbye! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang