#5 Sudut Pandang Orang Dewasa

215 56 0
                                    

"Sorry, tapi gue nggak setuju soal anak yang cuma dijadiin investasi jangka panjang buat orang tua."

Suasana kelas mata kuliah parenting begitu menegangkan ketika dua mahasiswa apatis sama-sama tidak mau mengalah.

Seolah dua sks tidak cukup untuk membicarakan soal "investasi" pada sesi tanya jawab setelah pemateri menyelesaikan presentasinya duapuluh menit yang lalu.

"Tapi faktanya udah ada terjadi di lapangan. Jadi lo nggak bisa ngelak kalo anak cuma dijadikan investasi orang tua," cerca Ellia si gadis berkacamata setengah lingkaran. "Gue juga nggak membenarkan kalau—"

"Loh, bukannya udah jadi kewajiban orang tua buat menghidupi anak-anaknya? Soal balas budi, itu lain cerita. Tapi kalo lo anggep 'balas budi' sebagai pengganti kata 'investasi' menurut gue ... agak jahat. Lagian anak-anak juga nggak minta dapetin itu semua, toh, hasil belajar di sekolah aja mereka dari proses kerja keras diri sendiri, bukan tanggungjawab orang tua," sela Ajun mulai ke offense. "Gue tetep nggak setuju. Anak itu anugrah dari Tuhan, tapi orangtuanya menganggap kalau kehadiran anak cuma dibikin layaknya penghasil uang."

"Lo bisa ngomong gitu bukan karena lo sendiri gagal menjadi anak yang baik, kan?" Ellia menatap sangsi ke arah Ajun. Kemudian tertawa. "Denger, ya—"

"Sorry to say. Gue agak ke offense soal lo ngomong kalau gue bisa ngomong gini gara-gara gagal jadi anak. Emang lo udah tau belum sih, soal definisi investasi dan balas budi?" Ajun bangkit dari tempat duduknya, menatap nyalang Ellia, "sudut pandang orang-orang itu beda. Ada yang menganggap bahwa anak itu anugrah dan ada juga yang menganggap soal 'anak adalah investasi'. But, bukannya dari kata 'investasi'aja udah salah, ya? Dari situ aja udah kelihatan kalau orang tua cuma mau hasil yang maksimal, dan gue bisa nganggep kalo lo adalah korban dari orang tua otoriter. Right?" Ajun tersenyum asimetris.

Ellia mengepalkan tangannya. "Kenapa lo jadi bawa-bawa pola asuh segala? Ini nggak ada relasinya —"

"Gue setuju sama pendapat Mas Ajun. Biar gimanapun, balas budi itu perlu, asal jangan nglunjak aja jadi orang tua."

Baik Ellia dan Ajun sama-sama terhenyak mendengar Azelyn menukas. Ini kali pertamanya Azelyn ikut campur dalam urusan adu argumen.

Kemudian Ellia tertawa sarkas. "Lo cuma—"

"Sudah cukup, Ellia."

Akhirnya Pak Edos angkat bicara, memotong pembicaraan Ellia sembari tersenyum singkat. "Kita cukupkan pertemuan hari ini. Minggu depan, silakan untuk kelompok berikutnya mempersiapkan presentasi kalian. Lalu, ada satu tugas tambahan lagi, silakan buat kelompok yang terdiri dua orang, lalu cari cukup dua narasumber dari latar keluarga yang berbeda—dengan pola asuh yang berbeda, kemudian kalian cari rumusan masalah beserta solusinya. Tugas dikumpulkan dalam bentuk hard file di meja saya, deadline dua minggu. Ada pertanyaan?"

Ajun mengangkat tangan, "Kelompok dibikin sendiri, Pak?"

"Iya. Buat sendiri. Kalau saya yang milih, nanti kalian malah pada nggak mau," jawab Pak Edos sembari tertawa ala bapak-bapak.

Entah mengapa setelah jawaban dari Pak Edos, membuat mata Ajun kembali lagi bertemu dengan Azelyn yang duduk di pojok sana.

Hal itu membuat Azelyn tersedak oleh air liurnya sendiri.

•••

"Lo anak PGAUD'21 A, kan?"

Kafe Baca Perpustakaan hanya ada Azelyn saja, karena orang-orang lebih memilih ke lantai atas untuk mencari buku-buku yang lebih lengkap. Jadi, sudah dipastikan bahwa lelaki yang kini duduk di hadapannya mengajak Azelyn berbicara.

Dengan satu tarikan alis, Azelyn bertanya, "Kenapa, Mas?"

Bisa menebak siapa yang ada di depannya?

"Kita sekelompok, ya."

Ajun. Arjuna Wisastra.

"Sorry?" Azelyn mengerutkan alis, "kelompok apa?"

"Tugas makul parenting, yang dikasih sama Pak Edos tadi. Gue cari lo kemana-mana, ternyata ada di sini. Gimana? Lo harus mau, ya?"

Azelyn mendengus, "Kenapa Mas Ajun punya pikiran kalau gue bisa jadi partner buat tugas parenting?"

"Karena lo yang bisa ngomong disaat temen-temen sekelas pada bisu semua. Cuma lo."

Kemudian tawa Azelyn menguar, sebelum akhirnya diam karena tersadar jika dirinya masih di area perpustakaan. "Gue orangnya nggak pinter-pinter amat, tapi gue juga nggak suka sama orang yang sok pinter."

"Maksud lo, gue sok pinter?"

"Ellia. Dari dulu, anak-anak nggak suka Ellia. Makanya gue bisa ikut campur perdebatan antara Mas Ajun sama Ellia," katanya, terdiam sejenak—kemudian melanjutkan, "oke. Kita sekelompok."

Ajun mengangguk paham. "Btw, lo tau nama gue Ajun?"

"Di kelas parenting cuma ada lo sama Javis doang cowonya."

Kemudian Ajun mengangguk paham, "Kalo lo?"

"Gue kenapa?"

"Nama lo ... siapa?"

Azelyn hampir tersedak air liurnya sendiri. Bagaimana mungkin mereka sama-sama sekelas, tetapi salah satu dari mereka tidak ingat namanya? Lantas gadis itu mendengus kecil, "Gue Azel. Azelyn Adisti. Semester empat. PGAUD, fakultas ilmu keguruan."

"Gue semester enam. PGSD, fakultas ilmu keguruan." Ajun menirukan gaya perkenalan Azelyn yang terkesan menarik.

"Oh, Mas Ajun linjur?"

"Engga, gue—"

"Gue cariin lo di musholla perpus, taunya ngadem di sini."

Azelyn tau persis siapa pemilik suara tersebut. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang layaknya tengah maraton. Gadis itu kemudian tak sengaja bersitatap dengan lelaki yang tak lain adalah Jinan Wihayudha.

bersambung

[✓] Hello, Goodbye! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang