#8 Angin yang Terlupakan

177 48 1
                                    

"Gue cabut dulu, ya! Ada kelasnya Prof. Yahya. Nanti gue kesini lagi, temenin lo makan bakso."

Azelyn tersenyum, sembari melambaikan tangan pada Neira yang sudah siap memakai helm dan menaiki motor —kemudian melaju, dan hanya tersisa dirinya saja di pelataran kost baru yang terletak di dalam gang—dekat sungai, tak jauh dari kampus Azelyn.

Langkahnya dengan santai memasuki kamar, menyibak rambut, kemudian memilih pakaian yang akan dipakai nanti pada saat jam mata kuliah Pengembangan Kurikulum PAUD.

Azelyn hanya perlu bersyukur karena bisa memiliki teman sebaik Neira Bintari. Pertemanan mereka bisa dikatakan cukup klise, yang awalnya Azelyn mencoba membantu Neira dibully habis-habisan saat SMA, lalu berakhir Azelyn yang menjadi korban selanjutnya.

Tiba-tiba suara ketukan pintu kamar terdengar, Azelyn melirik ke arah jendela, ternyata ibu kost yang  mengetuk pintunya. Gadis itu melangkah sembari membuka pintu dan langsung disambut senyuman hangat.

"Sebentar lagi ada pemadaman listrik. Siapa tahu Mbak Azel ada zoom meeting, jadi WiFi otomatis mati."

"Oh, baik, Ibu. Terimakasih," sahut Azelyn tersenyum ramah.

Kemudian Bu Widia melenggang, Azelyn menutup pintu sembari menilik handphone yang baterainya tinggal 15%. Tiba-tiba denting notifikasi muncul, menandakan pesan masuk.

Pak Irfan PKPAUD: hr ini online dl y... sy lg di Singapura nmnin anak sy... Silakan pemakalh shre link gmeet.,, Dimulai pkl 11.20 . trims

Azelyn memaki diam-diam. Dosen adalah manusia paling suka melakukan hal-hal secara mendadak tanpa berpikir panjang.

Sebentar lagi akan ada pemadaman, dan baterai handphonenya tidak mungkin cukup untuk 3 sks kedepan. Lantas yang dilakukan adalah cepat-cepat mencari charger dan mengisinya dengan detak jantung tidak karuan.

"Sialan."

Lagi-lagi Azelyn memaki, ia memukul kepalanya pelan karena baru ingat jika WiFi juga otomatis mati, dan dirinya belum mengisi paket data.

Lantas dengan gerakan cepat, Azelyn mengambil cardigan di lemari dan segera mengunci pintu dari rumah, mengenakan sendal asal-asalan untuk pergi ke konter terdekat.

Tak butuh waktu lama, hanya belok kiri dari pertigaan, Azelyn sudah menemukan konter. Dengan napas terengah-engah, Azelyn sedikit bersyukur. "Mas, voucher indo—loh Ajun?"

Ajun yang masih ngegame jadi terpaksa mempause dan mengarahkan atensi ke arah gadis itu. Dari balik etalase, Ajun mengernyit. "Lo abis dikejar apa? Sampe sandal aja selang-seling gitu. Mana beda warna lagi."

"Gue lagi buru-buru. Pak Irfan dadakan banget, sialan. Emang, ya, dosen kalo sehari nggak dadakan, bisa tipes kali, ya," sergah Azelyn menggebu. "Voucher Indosat yang 5gb, ya. Btw, lo punya power bank, nggak?"

Sembari mengambil voucher di etalase, Ajun menggeleng, "Engga. Dibawa Mbak Lala ke Semarang. Kenapa?"

Azelyn menghela napas kasar, menyibak rambutnya. "Gue harus kayang pakai gaya apa lagi, ya Allah. Capek banget. Lo nggak punya handphone cadangan, kah?"

"Satu doang. Sama laptop buat kuliah. Makanya adek gue seringnya ke warnet," sahutnya enteng. "Mau pinjem laptop gue?"

Seolah ada harapan, Azelyn mengangguk antusias. "Iya, deh. Mau," Jeda, "eh, berarti gue nggak jadi beli paketan, deh. Hotspot punya lo, ya." Gadis itu menunjukkan senyum lebarnya.

Tahu bagaimana ekspresi Ajun saat ini? Ya, sama seperti keadaan dimana orang yang sudah dibaikin, malah ngelunjak. Kira-kira seperti itu. Sinis.

"Bayar. Sejam duapuluh ri—"

[✓] Hello, Goodbye! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang