kesebelas

514 72 33
                                    

Dua pekan berselang, Tiffany benar-benar menyukai Jeongwoo hingga dia terus bertanya pada Yedam tentang kapan Jeongwoo akan mampir lagi ke rumah setelah kedatangan terakhirnya.

Bosan dengan Mamihnya yang terus-terusan bertanya, Yedam memutuskan kembali ke asrama pada Sabtu malam karena dia harus memenuhi janjinya dengan Jeongwoo pada hari Minggu berikutnya.

"Dam.."

Yedam samar-samar mendengar bisikan lembut yang memanggil namanya, dan itu malah semakin membuatnya mengantuk.

"Yedam." panggil Jeongwoo lagi.

"Apa sih?" rengek Yedam yang merasa risih karena gangguan dari Jeongwoo. "Biarin gue tidur sebentar lagi aja."

Jeongwoo menghela napasnya, lalu dengan sengaja menggoyangkan tangan Yedam. "Bangun cepetan."

"Nggak mau, ini tuh Minggu terakhir liburan."

"Nah, itu! Liburan terakhir tuh harusnya dipake buat nge-date." Jeongwoo sebenarnya tidak tega untuk mengganggu, tapi sudah lama sekali dia ingin mengajak Yedam pergi ke Planetarium bersamanya, dan ini adalah waktu yang tepat.

Yedam tetap menggelengkan kepalanya. "Nggak mau!"

Jeongwoo menyeringai, sambil bersiap menekan tombol panggilan di ponselnya. "Harus mau, atau gue aduin ke Mamih?"

Ancaman yang dilontarkan Jeongwoo terdengar begitu kekanak-kanakkan, tapi Yedam tahu bahwa sifat jahil teman satu kamarnya itu tidak akan pernah hilang.

"Curang banget, bisanya ngadu mulu." Yedam mendengus, dia sekarang duduk di atas tempat tidurnya dengan mata yang masih mengantuk.

"Ini masih pagi, Jeongwoo! Baru juga jam setengah sembilan, mendingan lu tuh nyiapin sarapan dulu buat gue." tukas Yedam yang ditambahkan dengan perintah setelahnya.

Jeongwoo memutar malas bola matanya. "Makan di luar ajalah nanti sekalian jalan."

"Makan apa?"

Jeongwoo berpikir sejenak sambil ikut duduk di sisi tempat tidur Yedam. "Bubur ayam, mau?"

"Jangan, it's a big no!" teriak Yedam dengan cepat sambil membuat tanda silang menggunakan kedua tangannya. "Yang ada nanti kita bukannya makan tapi malah berantem karena perbedaan ideologi."

Jeongwoo mencibir. "Iya, soalnya lu makan buburnya diaduk sih."

Yedam yang nyawanya belum terkumpul tidak menyadari bahwa dia perlahan menyandarkan kepalanya ke bahu Jeongwoo. "Terus mau makan apa? Italy? Chinese? Japanese?"

"Gue pengen Burger King, deh."

Yedam mendongak untuk memandang Jeongwoo lama, cukup lama untuk menyadari bahwa dirinya sudah tertawa karena usulan itu. "Burger King banget?"

"Ada menu ayam goreng baru di sana, jadi kita harus nyobain." jawab Jeongwoo penuh keyakinan, sementara Yedam akhirnya setuju pada pilihan Burger King.

Keasyikan, sepertinya mereka berdua sama-sama terlalu serius mendalami peran.

Yedam pikir dia akan lelah dengan kepura-puraan yang dia jalani. Tapi ternyata tidak, karena hingga detik ini perkiraannya tidak terealisasi.

Pacaran bohongan dengan Jeongwoo sama sekali tidak membebaninya. Apa yang seperti ini masih bisa dibilang bohong? Jujur, Yedam agak takut merenungkannya lebih jauh.

~~~^^~~~

Mendekati siang hari ketika Yedam dan Jeongwoo sampai di bangunan besar yang berbentuk seperti kubah. Selain mereka berdua, hanya ada beberapa orang yang datang untuk mengagumi angkasa.

Room(mates) - [jeongdam] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang