kesepuluh

364 68 6
                                    

Hilang sudah perasaan gugup yang sempat menghampiri Jeongwoo tadi, sekarang hanya ada perbincangan antara orangtua dan pacar anaknya.

Jeongwoo duduk di sofa ruang tamu ditemani oleh Tiffany, sementara Yedam menyibukkan dirinya untuk bermain bersama Levi di ruang tengah.

"Maaf ya, sepi. Papihnya Yedam belum bisa pulang ke rumah, karena masih ada kerjaan di luar kota."

Jeongwoo tersenyum maklum sambil mengangguk. "Iya, Mih. Mungkin next time kita bisa ketemu."

"By the way, kalian pacaran dari kapan sih? Soalnya Yedam waktu itu bilang takut pacarnya ngerasa kecepetan kalo diajak ketemu."

Yedam terlihat panik, matanya menatap ke arah Jeongwoo yang mengisyaratkannya untuk tetap diam.

"Kayaknya baru sekitar lima atau enam bulanan, Mih." Jeongwoo sengaja mengarang jawaban untuk pertanyaan itu.

Tiffany mengangguk-angguk. "Orangtua kamu udah tau kalo kamu pacaran sama Yedam?"

Jeongwoo menggeleng singkat. "Aku belum sempet ngenalin Yedam ke Mama sama Papa. Makanya tadi aku bilang, mungkin next time kita bisa adain pertemuan keluarga, Mih."

'Ngada-ngada banget, anjir.' cibir Yedam yang diam-diam tetap memasang telinganya untuk mendengarkan percakapan mereka karena memang jaraknya yang tidak terlalu jauh.

Jeongwoo bisa melihat dengan jelas wajah Tiffany yang sangat setuju dengan ide itu. "Kamu kuliahnya di jurusan apa?"

"Aku jurusan Hukum, Mih."

"Kalo udah lulus mau ngapain?"

Jeongwoo berkedip sesaat, jadi seperti ini ya rasanya diinterogasi oleh calon mertua. Saat dirinya masih memikirkan masa depan, Yedam menyahut. "Keluarganya Jeongwoo punya Firma Hukum, Mih. Udah pasti nanti dia yang lanjutin."

"Mamih nanya Jeongwoo, bukan kamu." balas Tiffany, membuat Yedam melengos untuk mengabaikannya.

"Tapi yang dibilang Yedam ada benernya, Mih." jawab Jeongwoo mengiyakan.

"Kamu ada rencana buat nikah muda nggak?" Tiffany menaik-turunkan alisnya menggoda, dan entah karena alasan apa, tapi itu berhasil membuat Jeongwoo kaget.

"Mamih buru-buru banget kayaknya." sela Yedam, mengutarakan reaksi kaget yang sama. "Aku sama Jeongwoo aja bahkan belum lulus kuliah."

"Manusia kan boleh berencana, Dam. Sisanya biar urusan Tuhan." kata Tiffany sok bijak.

Yedam langsung berdiri, melangkah ke sofa untuk duduk di sebelah Jeongwoo sambil menatapnya penuh harap. "Tapi bukannya pendidikan itu yang paling penting. Iya, kan?"

"Nggak, sih." jawab Jeongwoo setelah termenung beberapa saat, dia kemudian terkekeh. "Nikah juga penting, kok."

"Mamih sama kamu tuh sama aja!" Yedam berdecak jengkel, nada suaranya terdengar menyindir. "Udah malem, nih. Kamu nggak mau pulang?"

Jeongwoo melemparkan pandangan terluka, lalu menoleh ke arah Tiffany untuk mengadu. "Liat tuh, Mih. Yedam ngusir aku."

"Heh, masa pacar sendiri diusir?" tegur Tiffany main-main.

"Aku nggak ngusir, aku cuma nanya." kata Yedam sinis. "Lagian anak Mamih tuh sebenernya aku atau Jeongwoo, sih?"

"Jeongwoo, lah. Mamih bosen sama kamu."

Jeongwoo tersenyum penuh kemenangan, sementara Yedam menatap tidak percaya ke arah mereka, bisa-bisanya hanya dalam waktu kurang dari satu hari, Jeongwoo sudah menguasai Mamihnya seperti itu.

~~~^^~~~

"Thanks, anyway." ucap Yedam saat dirinya mengantarkan Jeongwoo ke depan halaman rumahnya.

Jeongwoo mengangkat alisnya heran. "For what?"

"For pretending like you are in love with me."

"Dam.." panggil Jeongwoo ragu.

Yedam menghentikan gerak tangannya yang hendak membuka pintu pagar. "Hm?"

"What if I told you that I really fell in love with you?"

Ketika Yedam tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu, Jeongwoo memberanikan dirinya untuk meletakkan kedua tangannya di kedua sisi wajah Yedam, lalu mengarahkannya hingga membuat mereka saling bertemu pandang.

Napas Yedam tertahan ketika menyadari seberapa dekat Jeongwoo mendekatkan wajah mereka, nyaris beberapa senti lagi dan ujung hidung mereka akan bertemu.

"Goodnight.."

Mendapatkan satu ciuman singkat di keningnya dari Jeongwoo sempat membuat Yedam terperanjat, matanya mengerjap bingung.

Jeongwoo lantas memberikan Yedam sorot mata yang keliatan sarat akan kasih sayang dan perhatian, tangannya terulur meraih puncak kepala Yedam, mengusaknya lembut. "Gue pulang dulu, ya? Takut kemaleman."

Yedam merasa aneh, tapi dia sudah tidak punya sisa energi lagi untuk memprotes perlakuan Jeongwoo yang kelewat manis seperti ini.

Seakan-akan Bang Yedam adalah seseorang yang berharga di mata Park Jeongwoo, seseorang yang patut menerima banjiran kasih sayang darinya, apalagi jika kedua mata Jeongwoo sudah menatapnya terlalu lekat, menjadikan Yedam sebagai pusat alam semesta baginya, dan sisanya seperti tidak penting lagi.

Jeongwoo sudah menekan kunci mobilnya, tapi dia tidak jadi beranjak pergi saat mengingat sesuatu. "Dam, ada satu hal yang belum pernah kita coba selama pacaran."

"Nyoba apa?"

"Let's go on planetarium date, mau nggak?"

Yedam masih terpana, dia tidak bisa berkata apa-apa, dan Jeongwoo menganggap kebisuannya sebagai jawaban. "I'll take that as a yes then."

tbc..

~~~^^~~~

Room(mates) - [jeongdam] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang