ketiga

629 94 9
                                    

Yedam menempuh pendidikan di salah satu Universitas yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari rumahnya. Tapi untuk menghemat waktu, biaya transportasi, dan sekaligus pertimbangan fleksibilitas, dia memilih tinggal di asrama dekat kampusnya.

Karena jadwalnya yang cukup sibuk, Yedam terkadang hanya bisa pulang dua bulan sekali atau saat menjelang liburan semester seperti ini.

"Dam, makanannya dimakan dong. Kenapa cuma diliatin aja?" Tiffany menatap anak tunggalnya yang kepulangannya selalu ditunggu-tunggu olehnya.

Hidangan makan malam kali ini terasa terlalu mewah jika hanya untuk menyambut kedatangannya, Yedam memandangi berbagai macam makanan kesukaan dirinya yang tertata rapi di atas meja makan.

Bukannya tidak senang, hanya saja Yedam selalu diajarkan untuk curiga pada hal-hal tidak lazim seperti ini, apalagi kalau Mamihnya terlibat.

"Kamu udah nggak suka masakan Mamih, ya?" tanya Tiffany sedih, otomatis Yedam langsung buru-buru menggeleng.

"Nggak gitu, Mih."

Yedam perlahan meraih centong nasi, sementara Tiffany yang sadar bahwa gerakan anaknya sangat lambat, langsung mengambil alih centong itu dari tangan Yedam.

"Jangan kebanyakan mikir, nanti kamu pusing." Tanpa disadari, sepiring penuh nasi putih hangat sudah diarahkan ke hadapan Yedam.

Yedam tersenyum canggung, dan mulai mengambil satu per satu lauk yang ada meskipun pikirannya penuh berbagai spekulasi negatif.

"Mamih tumben masak banyak gini, buat apaan?" tanya Yedam penasaran, tapi juga takut jika ternyata jawaban Mamihnya bisa sangat mengejutkan.

Tiffany terkekeh. "Nggak buat apa-apa, kok."

"Mih, serius."

"Yaudah, jadi kapan kamu mau ngenalin pacar kamu ke Mamih?"

Yedam tertegun, dia tidak mengerti mengapa Mamihnya bisa menanyakan hal seperti itu dengan sangat santai.

"Kapan, ya?" Yedam pura-pura berpikir, jari-jarinya kini beralih ke belakang kepala, menggaruknya dengan bingung. "Kapan-kapan kayaknya."

"Yedam!" tegur Tiffany saat anaknya menjauh untuk menghindari cubitan di tangannya.

"Iya ampun, Mih!" Yedam berpikir sambil berusaha mencari alasan. "Lagian aku sama dia baru jadian, takutnya dia ngerasa kecepetan kalo diajak ketemu Mamih."

"Mamih cuma mau catch up aja sama pacar kamu, masa nggak boleh?" Tiffany memohon, raut wajahnya pun memelas.

"Iya deh, nanti bakal aku ajak--"

"Kapan?"

Yedam berdehem, sementara kedua tangannya bergerak resah di atas meja makan.

"Kamu jangan-jangan lagi bohong ya sama Mamih?" tuduh Tiffany yang menatapnya serius.

"Mana ada aku bohong? Aku beneran punya pacar, Mih!" Yedam berusaha keras agar tidak ketahuan berbohong, ya karena sebenarnya dia memang tidak mempunyai seorang pacar.

Tiffany menyipitkan matanya, sementara Yedam merasa was-was. "Siapa namanya?"

"Nama siapa?" tanya Yedam mendadak jadi bodoh.

Tiffany mendengus. "Ya nama pacar kamu dong, sayang."

'Siapa namanya, anjir?' Yedam juga tidak tahu siapa pacarnya. Mengarang bebas nama seseorang bukanlah pilihan bijak kalau nantinya Yedam harus mengajak dia ke rumah.

Tiffany masih menatap penuh selidik padanya, membuat Yedam malah semakin gugup. "Pacar aku namanya--"

Yedam menghela napas, karena hanya ada satu nama yang sekarang terlintas di pikirannya. "Itu, dia namanya--"

"Iya, siapa namanya?" sahut Tiffany tidak sabar.

"Jeongwoo." Dan itu adalah nama teman satu kamarnya di asrama.

~~~^^~~~

Ketika berjumpa dengan Jeongwoo beberapa hari setelahnya, Yedam bingung bagaimana harus menghadapi teman satu kamarnya itu yang dia nyatakan sebagai pacarnya secara sepihak.

"Dam, nanti mau makan mie rebus rasa soto atau kari?"

"Mie goreng."

"Pake telor ceplok atau dadar?"

"Orak-arik." jawab Yedam tanpa peduli, dia kemudian membenamkan wajahnya di antara kedua tangannya yang terlipat di atas meja.

'Nggak nyambung, bangsat.' batin Jeongwoo, dia sengaja meletakkan gelas berisikan jus jeruk yang tadi dituangkan ke atas meja.

Yedam menengadahkan kepalanya, menatapnya dengan bingung. "Apaan?"

"Minum, biar lu nggak suntuk."

Jeongwoo bersumpah bahwa dia jarang memiliki sisi lembut untuk seseorang, tapi sekarang hati nuraninya goyah ketika melihat wajah lemas Yedam yang seperti ini.

Atau mungkin Jeongwoo memang mempunyai sisi lembut untuk Yedam, walaupun hanya sedikit.

"Dam?" panggilan dari Jeongwoo kembali menyapa pendengarannya.

Yedam langsung tersentak, dan mengatakan maksud yang sebenarnya. "Jeongwoo.. jadi pacar gue, yuk?"

Jeongwoo otomatis tertawa nyaring dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kocak banget candaan lu siang-siang gini."

"Jeongwoo, sorry banget ya.." gumam Yedam pelan.

Sebentar, ini kenapa tiba-tiba Yedam meminta maaf padanya? Bingung merespon, Jeongwoo berhenti tertawa kemudian menggebuk bahu Yedam untuk menunggu umpatan atas kelakuannya.

Yedam tidak membalas perbuatan Jeongwoo dan hanya mengerang frustrasi. "Gue udah terlanjur bilang ke Mamih kalo--"

"Kalo apa?" sahut Jeongwoo, firasatnya mendadak jadi tidak enak.

Yedam menggigit bibir bawahnya ragu. "Kalo lu itu pacar gue."

Raut wajah Jeongwoo berubah datar, dengan sedikit rasa heran. "Anjir, bisa-bisanya?"

"Iya, gue tau kalo lu nggak mungkin suka sama gue. Makanya--"

Jeongwoo ingin membantah, tapi dia kembali bungkam ketika Yedam menatap matanya serius. "--kita cuma perlu pacaran pura-pura."

Jeongwoo tidak tahu harus menanggapi apa, dia masih cukup terkejut dengan semua ini.

Yedam menghela napas pasrah sambil menjentikkan jarinya. "Oh, satu lagi. Nyokap gue pengen catch up sama lu."

"Lu serius?"

"Serius, lu cukup pura-pura akting aja kayak lu beneran suka sama gue di depan nyokap." Yedam mengaitkan jari telunjuk dengan jari tengahnya sebelum menjauhkannya. "Abis itu kita bisa putus, gimana?"

Jeongwoo butuh beberapa saat untuk berpikir, sebelum akhirnya tersenyum. "Oke."

"Oke?" ulang Yedam seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja Jeongwoo katakan.

"I'll do it, kita pacaran."

"Pacaran pura-pura." ralat Yedam, sementara Jeongwoo mengangkat bahunya enteng.

"Iya, pacaran pura-pura."

tbc..

~~~^^~~~

Room(mates) - [jeongdam] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang