SATU

1.3K 90 15
                                    

"Kamu nggak perlu lagi menghubungiku. Susu dan semua kebutuhan bayi itu pasti dikirim teratur setiap bulan. Asistenku yang akan mengurusnya."

Kalimat demi kalimat itu terucap lancar dari mulut Aldan Adiguna. Seolah tanpa beban. Benar-benar bak hunjaman sembilu di hati Camelia Hendarto. Bagaimana tak terkejut jika pernikahan yang hanya seumur jagung, tiba-tiba diakhiri begitu saja? Benar-benar seumur jagung. Tiga bulan.

"T-tapi, Mas—" 

"Stop! Nggak perlu banyak bicara lagi. Berkas pengajuan perceraian sudah masuk ke Pengadilan Agama. Pernikahan ini, kan, sudah cukup sebagai syarat akta lahir anak itu. Sesuai keinginan kamu, agar anak itu punya akta dengan nama bapak dan ibunya." Aldan bersedekap, membuang muka dengan bibir yang mencebik.

Camelia mengatupkan bibirnya rapat-rapat, pun berusaha menggigit lidah, manahan semua. Matanya berkaca-kaca dengan dada yang naik turun menahan gelegak emosi yang membuncah. Kedua telapak tangannya saling meremas di pangkuan. Dia menunduk, tak berani menatap wajah lelaki penghancur nomor satu kehidupannya. 

Kamar mungil rumah kontrakan mereka, seolah-olah bertambah sempit dan menghimpit dada Camelia. Bahkan, oksigen di ruangan ini sekarang rasanya sudah tak cukup lagi.

"Kamu … menceraikanku demi perempuan itu, kan?" Kalimat itu akhirnya bisa keluar dari mulut Camelia.

Aldan yang masih berdiri di hadapannya, mendengkus kasar. Sebelah sudut bibirnya terangkat. "Apa nggak kebalik? Mutiara itu kekasihku. Dia yang berhak menjadi istriku. Bukan kamu." Satu decakan dari mulut lelaki brengsek itu berhasil mematahkan lagi satu sudut hati Camelia.

"Tapi … bukankah kamu berjanji akan berusaha demi Mikayla?"

"Kamu masih punya muka menuntut ini, huh? Siapa kamu yang berani memintaku untuk menjadi suamimu seterusnya? Bayi itu bisa mendapat namaku dalam aktanya saja sudah lebih dari cukup. Lagipula, aku tetap akan memenuhi kebutuhannya. Pastinya, dengan syarat kamu nggak perlu lagi mengusik kehidupanku! Paham?!"

Camelia terdiam. Dadanya semakin sesak tak tertahan. Berbagai bayangan  kini berkelebatan di kepala. Bagaimana pernikahan dengan Aldan sampai terjadi, siapa Aldan Adiguna, bagaimana efek semua itu terhadap keluarganya, dan entah apa lagi yang terjadi setelah kejadian malam itu.

Camelia bukannya bahagia ketika mendengar kesediaan Aldan menikahinya beberapa bulan lalu. Dia tak kalah cemas dan takut. Bayangan kejadian malam itu terus menghantui. 

Tapi untunglah, sejak ijab kabul hingga talak dijatuhkan, Aldan sama sekali tak pernah menyentuhnya. Ya ... selain Camelia masih mengalami masa nifas karena bayinya masih belum dua bulan, mereka pun hidup terpisah. Aldan hanya mengunjungi sesekali. 

Tapi, semua harus bisa diterima. Camelia terlalu lemah. Yang membebani pikirannya kali ini hanya Bapak. Bagaimananya jika dia mengetahui hal ini? Kehamilan hingga pernikahannya dengan Aldan saja sudah cukup membuat Bapak sangat terkejut. Apa lagi sampai mendengar hal ini. Dan Ibu … ah, Camelia merasa sangat berdosa dengan apa yang terjadi pada Ibu kali ini.

Aldan benar-benar serius dengan ucapannya. Dia yang biasanya berkunjung sekali seminggu untuk mengantar kebutuhan bayi mereka, kini tak pernah datang lagi. Bukan asisten yang mengirim, tapi … dikirim melalui ojek online.

Seperti siang ini, terdengar bunyi pintu diketuk dengan sopan. Membuat Camelia yang sedang sibuk dengan ponsel untuk mencari pekerjaan online, cepat-cepat beranjak untuk membuka pintu depan. Dia berjalan cepat seraya menyanggul rambut ikal panjangnya dengan jedai. Seorang lelaki berjaket hijau dan masih memakai helm sudah berdiri di depan pintu.

"Mbak Camelia?" tanya lelaki itu sopan.

"Iya, benar." 

"Ada kiriman dari … sebentar saya lupa." lelaki itu berbalik dan mengambil kardus yang bertengger di jok motor bebeknya. Dia masih perlu membuka karet pengikat kardus itu.

[Terbit e-Book] Ayah untuk MikaylaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang