Sepeninggal Bagas, Camelia langsung memeriksa kardus besar berisi kebutuhan Mikayla tadi. Ia duduk di atas evamat ruang tamu kecil kontrakannya. Di ruangan itu, hanya ada evamat sebagai alas duduk. Tak ada karpet apalagi kursi.
Sejak menikah dengan Aldan, Camelia memang mengontrak rumah petak tiga ruang di daerah kota sekitar sepuluh kilometer dari rumah Bapak. Rumah kontrakan berukuran sekitar 2,5 x 8 meter persegi. Hanya bangunan memanjang yang disekat menjadi tiga bagian dan satu bagian basah tanpa pintu yang digunakan sebagai tempat mandi.
Perlahan, Camelia membuka kardus itu dan melongok isinya. Ya, seperti yang sudah-sudah, kiriman dari Aldan hanya berupa popok bayi, susu, beserta perlengkapan lainnya. Hanya kebutuhan untuk Mikayla saja. Sementara untuk Camelia, hanya ada susu ibu menyusui dan beberapa lembar vitamin.
Setelah memeriksanya, Camelia menutupnya kembali. Dia mendesah panjang. Dan sejurus kemudian, sebelah sudut bibirnya terangkat.
Hadir sekelebat memori tentang siapa dia sebelum ini dan bagaimana sampai menikah dengan Aldan. Di umur yang menginjak dua puluh empat tahun, Camelia sudah harus mengalami jungkir balik kehidupan sebegitu dahsyatnya. Ah, andai ia mampu menghindari kejadian malam itu, niscaya semua ini tak akan pernah terjadi. Seharusnya, dia masih mengajar di sekolah Islam elit di Kota Probolinggo.
Camelia tak menyalahkan kebijakan sekolah yang memberhentikannya. Yang dia sesalkan adalah … sikap beberapa rekannya yang sempat mencemooh dan menghinanya kala itu. Tapi, semua sudah terjadi. Gelar yang dia miliki saat ini, sudah tak berguna. Apa mungkin ada sekolah yang mau mempekerjakan tenaga pendidik sepertinya? Hamil di luar nikah.
Karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Peribahasa itu sangat sesuai dengan kehidupan yang dijalani Camelia saat ini. Dalam setiap kejadian semacam ini, korbannya selalu perempuan. Dia harus menerima berbagai risiko termasuk dicemooh masyarakat dan kehilangan semua impiannya. Padahal, menjadi guru sekolah dasar adalah cita-cita Camelia sejak dulu. Seperti Bapak dan Ibu.
Ah, Ibu …. Tiba-tiba, hadir kerinduan tentangnya. Perempuan lembut dan penyayang itu kini harus menderita hanya karena kejadian ini.
Di tengah terhanyut dalam lamunan dan kerinduan tentang Ibu, tiba-tiba terdengar pintu diketuk disertai panggilan nama Camelia. Sepertinya, itu suara pemilik kontrakan. Cepat-cepat perempuan berkulit kuning langsat itu segera membuka pintu. Seorang perempuan berbadan berisi telah berdiri di depan pintu. Raut wajahnya tampak seperti biasa. Ketus.
"Eh, Mbak. Saya dapat laporan dari penghuni lain. Katanya, tadi ada ribut-ribut, ya? Lalu, situ masukin laki-laki ke dalam?"
Deg! Ah, ada saja yang kepo dan usil di tempat ini. Baru tinggal belum empat bulan saja, sudah banyak yang ingin tahu banyak tentang Camelia.
"A-anu, Bu. Itu … tadi yang masuk cuma tukang ojek yang bantuin bawain paket." Camelia mundur bergeser untuk memperlihatkan kardus besar yang masih teronggok di ruang tamu. "Itu. Paketnya besar, kan?"
Mata perempuan berdaster batik lengan pendek itu menyipit dengan dahi mengernyit. Dia berusaha melongok ke dalam ruangan. "Tapi, ribut-ribut itu apa?"
"Oh, anu …" Camelia menjeda kalimatnya sesaat. Bingung. Alasan apa lagi yang harus dipakai? "Tukang kredit nagih tunggakan cicilan." Ah, sudahlah, mending dilabeli sebagai tukang ngutang saja daripada bingung mencari alasan.
"Bener?" Perempuan bertubuh tambun itu bersedekap dengan mata yang kembali menyipit.
"I-iya. Bener."
"Makanya, kalau nggak punya duit itu jangan ngutang! Lagian punya suami kaya, kok, hobi ngutang." Ibu pemilik kontrakan itu mencebik seraya membuang muka. "Untung aja, uang sewa bulanan nggak pernah nunggak. Kalau sampai nunggak, jangan harap saya mau bermurah hati. Wong mobilnya suami situ bagus."
"I-iya, Bu."
"Ya, sudah. Jangan ribut-ribut lagi! Dan inget, utang itu dibayar!" Perempuan galak itu pun berlalu tanpa menghiraukan jawaban Camelia.
Untung saja, perempuan tambun pemilik kontrakan itu mudah dibohongi. Secara logika, jika melihat Aldan, pun dengan kardus paket besar berisi susu dan perlengkapan bayi, sungguh sulit diterima akal jika Camelia sampai berutang.
Tapi, biarkan saja. Para tetangga di tempat ini memang sangat kepo terhadap kehidupan Camelia. Mungkin, karena ibu muda itu sangat jarang, bahkan hampir tidak pernah nimbrung atau kumpul-kumpul mengobrol dengan para tetangga. Pun hubungan pernikahannya dengan Aldan yang memang tampak aneh. Sejak awal mengontrak, yang mengurus semua adalah asisten anak pejabat itu. Sudah dipastikan, persyaratan mengontrak berupa copy surat nikah, bisa terpenuhi. Tapi anehnya, Aldan hanya datang sesekali saja. Itu pun hanya sebentar dan tentu saja para tetangga tak bisa tahu jelas wajahnya. Apalagi, nama asli Aldan jauh berbeda dengan nama yang selama ini diketahui khalayak umum. Aldenaro. Semuanya mengesankan seolah-olah Camelia adalah istri simpanan.
Camelia menutup pintu seraya mengembuskan napas lega. Dia melangkah menuju kardus tadi, bermaksud memasukkannya ke kamar. Tapi, belum juga duduk, ponsel di saku berdengung panjang.
Sembari duduk kembali, Camelia memeriksanya. Nama Ivy, sahabat baiknya, terpampang di layar.
"Ya, Vy? Ada apa?"
"Kamu baik-baik aja, kan Mel?"
"Baik. Emangnya ada apa? Kenapa kamu kayak yang khawatir?"
"Ehm … kamu … udah tahu berita gosip hari ini?"
"Ah, aku bukan kang gosip. Emang ada apaan?"
"Mutiara dan Aldan, mereka mengumumkan pertunangan."
Deg! Hati Camelia seolah mencelos. Memang dia sudah tahu kalau Aldan ada hubungan dengan Mutiara. Tapi … entah kenapa, ada secuil rasa tak rela. Tak mungkin ini cemburu, kan?
"Oh, itu …"
"Mel! Kamu beneran baik-baik aja? Si Aldan nggak ngomong apa-apa ke kamu?"
"Maafin aku, Vy. Aku belum ngasih tahu ke kamu soal ini. Minggu lalu, Aldan ngomong kalau dia emang mau ceraiin aku." Camelia menggigit bibirnya. Rasa ngilu itu masih bertahan di sana. Bahkan, semakin lama rasanya semakin sakit.
Bagaimana mungkin bisa sesakit ini? Seingat Camelia, dia sudah tak mencintai lelaki itu lagi. Tapi, mengapa mendengar berita dari sahabatnya tentang pertunangan Aldan jauh lebih sakit daripada kata cerai yang telah keluar dari bibir lelaki yang sempat benar-benar Camelia cintai itu?
"Ya, ampun, Mel. Brengsek banget, sih, si Aldan itu? Dia udah punya Mikayla, loh? Harusnya dia bertanggung jawab karena udah ngerusak hidup kamu."
"Udah, Vy, udah. Aku nggak apa-apa. Aldan tetap bertanggung jawab, kok. Dia baru aja ngirimin barang kebutuhan Mikayla pake ojek online."
"Iya, aku tahu dia berduit dan bokapnya berkuasa. Tapi, bukan begini juga caranya."
"Sudah, Vy, sudah. Kamu tahu sendiri, kan, kalau keluarga Aldan itu nggak boleh diganggu. Dia mau nikahin aku aja itu udah luar biasa. Mikayla punya akta dengan nama dia. Udah, ya, Vy?"
"Ya, Tuhan, Mel. Kamu beneran baik banget. Kalau ingat kejadian itu, aku jadi ngerasa bersalah banget. Ya ampun … semua hancur gara-gara si curut busuk itu."
Keduanya bercakap-cakap hingga beberapa menit kemudian. Lantas, ketika terdengar tangisan Mikayla dari arah kamar, seketika Camelia meminta Ivy untuk memutus sambungan telepon mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Terbit e-Book] Ayah untuk Mikayla
Lãng mạnSetelah ditinggal begitu saja oleh suami seumur jagungnya, Camelia harus menerima kenyataan tentang kematian bapak dan beban utang dengan jaminan rumah satu-satunya. Mau tak mau Camelia harus berusaha memepertahankan dan meneruskan usaha toko alat t...