"Jadi, Bapaknya Mbak Camelia baru saja meninggal?" tanya Bagas dengan nada suara berbisik. Dia mencondongkan wajah agak ke depan, mendekat pada Ivy yang tengah makan di hadapannya.
Ivy mengangkat bahu dan mengembuskan napas panjang. Tangannya menekan sendok pada piring, menghentikan kegiatan makannya sesaat. "Iya. Minggu lalu. Apalagi … dia juga ditinggal suaminya. Argh … si kunyuk brengsek." Ivy berdecak, lalu seketika meraih gelas dan menenggak isinya hingga tersisa separuh.
Apa katanya? Camelia ditinggal suaminya? Seketika hadir ingatan kala itu, saat Camelia menumpang ojek Bagas sepulang dari rumah sakit kesehatan mental. Pantas saja, dia lama hendak menjawab.
"Oh … begitu." Bagas kembali memundurkan tubuh, lalu meneruskan makannya. Dia tak meneruskan pertanyaan lagi.
"Oh, ya, Mas Bagas ini guru sekaligus driver ojek online, ya?" tanya Ivy sebelum kemudian memasukkan sesuap mie goreng ke mulutnya. Dia rupanya berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
"Iya, Mbak. Merangkap kurir juga. Pokoknya, apa yang halal saja dan nggak mengganggu waktu mengajar," jawab Bagas tanpa menatap Ivy. Dia terlalu sibuk dengan nasi dan mie di hadapannya. Bagas sangat bersyukur dengan makan siang yang sedikit terlambat itu.
Bagaimana tidak, itu adalah 'makan' pertama hari ini bagi Bagas. Karena pagi tadi, dia hanya sarapan dengan sepotong roti murahan mini dan segelas air mineral saja sebelum berangkat. Karena alasan hari Minggu, Ariani keluar rumah pagi buta. Dia pamit untuk mengunjungi ibunya. Seperti biasa. Sebenarnya, Bagas bisa saja memasak sendiri, toh, ia tak jarang melakukannya. Tapi, karena alasan tanggung, ia menunda sarapannya.
"Wah … rajin juga, ya? Sudah punya anak, kah?" Ivy kembali memasukkan sesuap mie ke mulutnya. Sengaja, dia tak menambah nasi. Toh, karbohidrat dan gula pada mie sudah lebih dari cukup.
"Belum, Mb. Istri saya pernah keguguran. Jadinya, sampai saat ini, dia belum mau hamil lagi." Kedua sudut bibir Bagas tertarik membentuk garis lurus.
"Oh …. Iya juga, sih. Mungkin trauma, ya?" Ivy mengangguk-angguk pelan seraya mengunyah makanannya.
"Mungkin saja. Kasihan—"
Kalimat Bagas terpotong karena dia seketika tertegun dan mengernyitkan dahi. Camelia muncul dari balik pintu dengan wajah muram. Apa yang telah terjadi? Apakah berhubungan dengan tamunya tadi? Ah, mengapa harus kepo dengan urusan orang? Itu sama sekali bukan urusan Bagas, kan?
Dan melihat sikap Bagas, membuat Ivy ikut menoleh. Sepertinya dia juga penasaran.
"Loh, Mel? Ada apa?" tanya Ivy.
Seperti orang bingung dan seketika berusaha mengubah air muka, Camelia mengulas senyum yang begitu kentara kalau dipaksakan. Kedua mata sayunya dibuat sedikit lebih lebar.
"Eh, apaan? Nggak apa-apa." Camelia masih berusaha mempertahankan senyum palsunya dan seketika kembali duduk di kursinya tadi, di sebelah Ivy. Lantas, meneruskan makan tanpa banyak bicara. Bahkan mempercepatnya, hingga dia tersedak.
Cepat-cepat Ivy menepuk punggung kawannya. Sementara Bagas segera menyodorkan gelas berisi air. "Minum dulu, Mbak."
Masih terbatuk, Camelia menerima gelas dari Bagas dan segera menenggak isinya hingga batuknya reda. Dia mengembuskan napas lega. Lantas menyeringai.
"Mau ke mana, sih, Mel? Terburu-buru banget? Kayak dikejar setan." Ivy menggeleng pelan lantas meneruskan makannya yang tinggal beberapa suapan lagi.
"Nggak. Aku mau ambil Mikayla di sebelah." Camelia meletakkan gelas ke meja, lalu melanjutkan makannya.
Ivy mengembuskan napas panjang seraya menggeleng. Dia menyelesaikan suapan terakhir. Pun dengan Bagas.
"Alhamdulillah … siang-siang udah kenyang aja. Terima kasih, loh, Mbak Camelia dan Mbak Ivy." Bagas menuang kopi pada lepek.
Mereka bercakap-cakap ringan beberapa saat. Lantas, Bagas pamit setelah dirasa sudah cukup mengistirahatkan badan setelah makan dan setelah Camelia kembali dari menjemput bayinya.
Selama perjalanan pulang, Bagas tak mampu untuk tak penasaran dengan apa yang terjadi pada Camelia. Penuturan Ivy tentang suami yang meninggalkannya, pun ayahnya yang meninggal dunia, benar-benar mengusik pikiran lelaki berperawakan tinggi sedang itu. Lalu … raut wajah muramnya tadi, benar-benar sangat kentara. Ternyata … ada yang jauh lebih berat beban hidupnya daripada Bagas. Ia tak terlalu memiliki masalah berarti, hanya soal ekonomi belum stabil. Keluarganya masih utuh. Dia dan Ariani.
Mendengar Azan Asar, berkumandang, membuat Bagas berniat pulang terlebih dahulu. Ia berencana untuk keluar lagi nanti setelah melaksanakan salat di rumah. Karena kebetulan, rumah Camelia dan rumahnya tak terlampau jauh, hanya sekitar tiga kilometer saja, bersebelahan desa.
Mungkin saja, Ariani sudah pulang. Seharian ini dia tak menghubungi. Biasanya kalau hendak menginap di rumah orangtuanya, Ariani selalu pamit. Bagi Bagas, Ariani adalah istri yang mandiri dan tidak rewel. Dia sudah terbiasa pulang pergi ke rumah orang tuanya tanpa diantar. Kebetulan, mereka memang memiliki dua motor. Satu motor bebek 125 cc yang telah dimiliki Bagas sejak sebelum menikah, dan satu lagi skuter matic 150 cc yang pembayarannya masih mengangsur. Mereka sengaja membelinya atas permintaan Ariani tahun lalu.
Bagas menghentikan motor dan memarkirkannya di depan rumah. Ternyata, Ariani belum pulang. Tak ada motornya terparkir di halaman.
Bagas membuka pintu. Ia segera menuju kamar mandi untuk bersuci. Lantas, melaksanakan salat setelahnya.
Terdengar bunyi mesin motor berhenti di tengah Bagas melakukan salam pertama. Lantas, disusul bunyi kenop pintu terbuka beberapa saat setelahnya. Rupanya, Ariani sudah pulang.
Bagas beranjak untuk menemui istrinya setelah menyelesaikan salat dan berdoa. Benar saja, Ariani tengah berganti pakaian. Tapi … yang tengah dia pakai adalah baju baru? Pakaian yang beberapa waktu lalu sempat beberapa kali dibicarakan. Pun begitu, ada tas merah bertengger di ranjang. Tas dengan harga tak murah yang memang ingin Ariani miliki.
Bagas berdeham, dia menghentikan langkah di ambang pintu. Seketika, perempuan berperawakan sedang itu menoleh. "Kok, jam segini sudah di rumah?"
"Kebetulan habis nganter barang deket sini. Mampir salat doang." Bagas melangkah, lalu duduk di bibir ranjang. Dia memperhatikan tas di sampingnya. "Ini … punya kamu?"
"Iya. Kenapa?"
"Kamu … dapet duit dari mana?" Bagas masih menelusuri tali tas dengan tangannya.
"Ngapain kepo? Bukannya enak aku udah bisa beli tanpa minta sama kamu? Ribet banget. Kalau nungguin kamu, kapan kebelinya?" jawab Ariani dengan intonasi cepat dan sedikit meninggi. Dia tak menoleh sedikit pun pada sang suami, masih sibuk melihat pantulan dirinya dari cermin.
Mendengar perkataan istrinya, Bagas terkesiap. Ya, Ariani benar. Tas dan baju yang dia inginkan memang memiliki harga yang sangat mahal. Meskipun begitu, Bagas tetap berusaha membelikannya untuk sang istri. Karena, dia sangat mencintai perempuan cantik pujaan hatinya itu. Ariani adalah cinta pertamanya. Bahkan, masih belum ada yang mampu menggantikannya di hati Bagas.
Hadir sekelebat ingatan. Ketika Bagas mendengar keinginan sang istri kala itu, dia benar-benar merasa tak mampu untuk membelinya. Tapi … bagaimana bisa Ariani memilikinya kali ini?
"Aku … cuma nanya. Dan aku minta maaf kalau masih belum bisa nyenengin kamu soal baju dan tas itu." Bagas mengembuskan napas pendek.
"Iya. Kamu nggak perlu khawatir. Semua ini udah dibayar lunas. Bukan barang kreditan. Nggak bakal ada tukang tagih ke sini." Ariani mengambil tas dan mencobanya. Lantas, kembali sibuk dengan cermin di hadapannya.
Lagi-lagi Ariani benar. Bagas menanyakan asal baju dan tas itu karena dia khawatir jika nanti akan ada tagihan di kemudian hari. Tapi, jika sudah dibayar lunas, dari mana Ariani mendapat uang? Tak mungkin dari uang belanja yang selama ini Bagas berikan. Karena, nominalnya sangat kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Terbit e-Book] Ayah untuk Mikayla
RomansaSetelah ditinggal begitu saja oleh suami seumur jagungnya, Camelia harus menerima kenyataan tentang kematian bapak dan beban utang dengan jaminan rumah satu-satunya. Mau tak mau Camelia harus berusaha memepertahankan dan meneruskan usaha toko alat t...