ENAM

382 59 13
                                    

Tubuh Camelia mendadak lunglai. Ivy seketika memeluk bahunya, menahan agar sahabat baiknya itu tak jatuh.  "Mel, kamu kenapa?"

"Bapak, Vy. Bapak sakit," jawab Camelia dengan nada suara lirih dan bergetar. Tatapannya kosong dengan tangan kiri masih berusaha menggendong Mikayla yang tampak merengek tak nyaman, pun memegang surat panggilan dari Pengadilan Agama. Sementara tangan kanannya yang menggenggam ponsel, perlahan turun dari sebelah telinga.

"Kamu tenang dulu." Ivy membantu Camelia duduk. Pun menguraikan tali gendongan dan mengambil Mikayla dari tangan sang sahabat. "Biar aku yang gendong anakmu."

Camelia menurut dengan pandangan kosong ke depan. Dia duduk bersandar pada dinding, di sebelah pintu.

Dengan sigap, Ivy menggendong Mikayla. Ia membenahi tali gendongan seraya berjalan ke arah dapur. Lalu kembali dengan segelas air beberapa saat kemudian. Ia menyodorkan gelas itu seraya duduk di sebelah sang sahabat. "Minum dulu, Mel."

Camelia menerima gelas itu dan menenggak isinya hingga tersisa hampir separuh. "Aku harus segera ke rumah sakit, Vy. Tapi … apa aku harus berhijab lagi?" Satu embusan napas berat melompat dari pernapasannya.

"Baiknya begitu. Jangan lancarkan protes atau memancing hal yang bisa mengingatkan Lek Darto sama masalahmu." Ivy menepuk pelan bahu Camelia.

"Kalau begitu … Mikayla? Bapak pasti nggak seneng kalau ngelihatnya."

"Biar aku yang urus. Lagian, bayi nggak baik masuk rumah sakit, kan?"

Perlahan, Camelia menoleh, menatap sahabatnya dengan tatapan sendu. "Terima kasih, Vy. Kalau nggak ada kamu, bagaimana aku harus menjalani hidup ini?"

"Udah, udah. Kalau kamu udah ngerasa baikan, ayo kita berangkat. Kamu masih bisa membonceng, kan? Nggak pusing?"

Satu gelengan pelan dari Camelia menjawab tanya kawan baiknya. "Nggak, Vy."

Camelia beranjak perlahan dan melangkah ke kamar. Dia mengganti pakaian dengan celana kain biru tua dan tunik jeans abu-abu. Pun menutup rambutnya dengan hijab instan yang terulur sampai dada. Lantas, menyiapkan kebutuhan Mikayla dalam tas bayi ukuran tanggung. Beberapa baju ganti, diapers, susu, dan termos kecil yang sudah diisi air panas.

Setelah memastikan keperluan bayinya tak ada yang ketinggalan, Camelia bergegas keluar dan mengajak Ivy untuk segera berangkat.

Ivy meletakkan tas bayi itu di bagian pijakan motor. Dia melajukan kendaraannya perlahan, sembari sesekali menanyakan keadaan sang sahabat.

Untuk menenangkan kawan baiknya, Camelia menjawab dengan nada tegas. Berharap Ivy tenang mengemudi.

Berbagai ingatan tentang Bapak,0 berkelebat di kepala. Tentang betapa penyayangnya Bapak, dan tentang harapan-harapannya.

"Nama Camelia itu, berasal dari Bahasa Arab. Artinya, memiliki sifat kesempurnaan."

Dulu, Bapak sering mengutarakan kalimat itu kepada Camelia. Sangat lekat di ingatan bagaimana dia begitu berharap kepada putri semata wayangnya itu. Putri yang belasan tahun dinanti. 

"Bapak pengin, kalau nanti kamu besar, Nduk, kamu akan jadi orang sukses dan bahagia. Kaya harta untuk membantu sesama, dan kaya hati untuk memberi kebahagiaan bagi sekitarmu."

Biasanya, dulu Camelia suka berayun-ayun di sarung Bapak ketika ia duduk. Biasanya juga, Bapak sambil menjaga toko atau mengerjakan beberapa pekerjaannya sebagai guru sekolah dasar. Itulah, mengapa Camelia ingin sekali menjadi guru. Seperti Bapak, lelaki idolanya.

Tapi … apa yang telah terjadi kepada Camelia tahun lalu, benar-benar memporak-porandakan harapan Bapak dan Ibu. Seketika, semua hancur. Ibu terganggu mentalnya dan harus dirawat di rumah sakit kesehatan mental. Sementara Bapak jadi sakit-sakitan. Mendadak, berbagai penyakit bersarang di tubuh tuanya. Diabetes, hipertensi, bahkan terakhir gejala komplikasi gangguan jantung.

Memang mungkin Bapak sudah tua. Tapi … apa yang menimpanya terjadi terlalu cepat setelah kabar kehamilan putri semata wayangnya itu. Padahal sebelumnya, Bapak sangat sehat. Seolah-olah tak ada satu penyakit pun yang mampu merobohkannya.

Camelia masih berada antara ingatan masa lalunya dan masa kini ketika keduanya telah sampai di rumah sakit. Dengan sigap, setelah memarkirkan kendaraan, Ivy meminta Mikayla dari tangan ibunya. Dia berinisiatif menunggu di tempat parkir. Untung saja, tempat parkir kendaraan di rumah sakit tersebut cukup teduh dan berdekatan dengan musalla serta warung-warung di mana Ivy bisa duduk menunggu Camelia. 

Camelia segera menghubungi Pak Lek dan bertanya tempat Bapak dirawat. Ternyata, Bapak masih berada di ruang ICU. Keadaannya masih butuh perawatan intensif. 

Meski dengan berat hati—karena memang Camelia sama sekali belum pernah menitipkan Mikayla kepada siapa pun—Camelia akhirnya melangkah pergi menuju ruang ICU. Ia menyusuri koridor rumah sakit, lantas berbelok mengikuti papan arahan yang tergantung di langit-langit. Setelah melalui ruang perawatatan ibu dan anak, Camelia berbelok ke kiri. Tampak Pak De dan istrinya tengah duduk pada bangku panjang di depan ruang ICU. Camelia mempercepat langkahnya, setengah berlari. Keduanya seketika berdiri mengetahui kedatangan keponakannya.

"Bagaimana keadaan Bapak?" tanya Camelia dengan nada suara cemas. Dia menatap bergantian antara Pak De Anshar dan istrinya.

"Wes, kamu tenang dulu, Nduk. Dia masih istirahat. Kamu bisa lihat dari sini," jawab Bu Lek, berusaha menenangkan. Dia bergeser dan berisyarat ke dalam ruangan di mana Bapak dirawat.

Camelia berusaha melongok ke dalam ruangan. Bapak terbaring di ranjang dengan berbagai alat medis menempel di tubuhnya. Ada tabung oksigen di sebelah ranjang, pun elektrokardiogram yang menampilkan aktivitas kerja jantung Bapak. 

Seketika, cemas merayapi hati Camelia. Bagaimana dia mampu memaafkan dirinya sendiri jika Bapak sampai meninggal karena semua ini? Mengapa semua harus terjadi kepadanya?

"Ini … kapan Bapak yang kambuh, Pak Lek?" Camelia masih tak mengalihkan pandangan dari Bapak. Kedua alisnya turun.

Telapak tangan Bu Lek mendarat di bahu keponakannya. Dia membelainya perlahan. "Sebenernya, dia sakit sudah beberapa hari. Tokonya pun tutup. Tapi, yang dibawa ke rumah sakit baru tadi siang, sekitar jam sebelas. Dia sesak dan hampir tak sadarkan diri."

Perlahan, Camelia menoleh dan menatap Bu Lek dengan tatapan sendu. "Sudah … beberapa hari?"

"Maafkan kami, Nduk," suara Bu Lek melirih. Tersirat penyesalan dari nada suaranya. "Kami sudah menyarankan untuk mengabarimu. Tapi … Mas Darto bersikeras melarang." Bu Lek menatap keponakannya lekat-lekat.

Deg!

Bapak masih tak sudi memaafkan Camelia? Harus bagaimana lagi ia berusaha agar mendapat maaf dari lelaki yang menjadi perantaranya dilahirkan? Camelia sudah berusaha menjelaskan bahwa yang telah terjadi tak bisa dikatakan sebagai hal yang murni sebagai kesalahannya. Tapi, mengapa hati Bapak sekeras itu?

Camelia menunduk. Kedua telapak tangannya mengepal di samping tubuh. Dia menggigit bibirnya dengan sangat. Bapak … berikanlah maafmu. 

"Lalu … saya harus bagaimana lagi, Bu Lek? Bapak nggak pernah mau mendengarkan. Apalagi … percaya dengan cerita yang saya utarakan." Mata sayu Camelia mulai berkaca-kaca. Tenggorokannya seketika ngilu.

"Kamu yang sabar, ya, Nduk …. Mungkin semua hanya karena dia malu. Dia itu … orang yang sangat keras memperjuangkan soal moral. Bahkan … dulu sampai ada tetangga yang pergi dari lingkungan kita karena melakukan hal seperti yang terjadi padamu. Dan … itu karena Mas Darto." Suara Bu Lek melirih di kalimat terakhir.

Mendengar ucapan Bu Lek, seketika hadir berbagai pemikiran di benak Camelia. Apakah … ia merupakan anak yang memalukan? Andai Bapak mau mendengarkan dan tahu faktanya, pasti tak akan sekecewa ini. Camelia hanya korban. Kor-ban.


[Terbit e-Book] Ayah untuk MikaylaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang