Dengan segenap ketegaran hati yang tersisa, Camelia melangkah seraya menunduk dan menyeka aliran bening di pipi, meninggalkan pusara Bapak yang masih basah. Dia tak membawa Mikayla ke pemakaman, Ivy kembali membantu menjaganya. Lelaki cinta pertamanya itu kini telah tiada. Tak ada yang bisa dilakukan lagi kecuali menebus segala kesalahan dengan mendoakannya. Doa anak saleh adalah penebus dosa.
Ah, mengapa hati Camelia seketika ngilu jika mengingat perihal frasa 'anak saleh'? Entahlah, terserah takdir saja bagaimana ke depannya.
Para pelayat masih berdatangan. Bu Lek Ansar yang menemui mereka, selain beberapa kerabat yang lain. Camelia berjalan di antara para pelayat. Dia melewati lorong samping rumah, langsung menuju pintu belakang yang tembus ke ruang tengah dan dapur. Sebagian besar dari mereka adalah para tetangga, kerabat, atau teman Bapak dan Ibu.
Sejatinya, Camelia sudah berusaha abai dengan pandangan mata orang-orang. Pun, berusaha tuli dengan bisik-bisik yang mungkin akan terdengar. Tapi … mengapa pandangan-pandangan tak nyaman dan menyelidik itu tetap terasa? Terlebih, bisik-bisik itu bisa sangat jelas sampai di telinga Camelia.
"Itu, putri satu-satunya. Kasihan, ya … yang anu itu, loh. Jangan-jangan, bapaknya mati karena kepikiran. Ibunya juga gila, kan?"
"Eh, tapi, mana suaminya, kok, nggak kelihatan, ya? Apa iya dinikahi beneran sama yang menghamili?"
"Kasihan, punya anak sebiji, tapi nggak bisa diharapkan."
"Katanya, sekarang sudah nggak berhijab. Lagian, berhijab juga percuma, ya?"
"Padahal, bapaknya itu keras banget mendidik. Eh, ternyata kecolongan juga."
"Kena karma, tuh. Dulu, kan, bapaknya bikin si anu minggat."
Di saat masa berkabung pun, mulut-mulut jahat tetap tak mau berhenti menyudutkan. Tertawa dan bergembira di atas kesedihan dan kepedihan orang lain.
Camelia langsung masuk kamar tengah bersama Ivy yang seketika mengekori seraya menggendong Mikayla.
Seketika, ia menghempaskan tubuh pada ranjang, setelah sebelumnya membuka kerudung panjang yang menutup kepala dan melemparnya sembarangan. Dia membenamkan wajah di antara bantal dengan isak tangis yang semakin menjadi-jadi. Berbagai rasa berkecamuk di dada. Sesal, sedih, marah, malu, dan entah apa lagi. Rasanya, ingin menghilang saja dari muka bumi ini. Lenyap tak bersisa.
Terdengar rengekan Mikayla dan suaranya yang sedang minum susu dari botol, diikuti tangan Ivy yang mendarat di punggung. Ah, kalau bukan karena Mikayla dan Ibu yang masih di rumah sakit, pasti Camelia sudah nekad. Memangnya, apa yang harus diperjuangkan jika sudah begini? Hidup Camelia sudah habis. Tak berharga lagi.
"Mel … aku nggak tahu harus ngomong apa. Kalau aku menyarankan bersabar, sudah terlalu klise. Yang pasti, Mikayla masih membutuhkanmu," ujar Ivy lembut dan lirih.
Untuk sepersekian menit, Camelia masih dengan posisinya. Hingga, perlahan dia beringsut dan duduk seraya menyeka air mata di pipi. "Iya. Makasih, ya, Vy. Aku tahu, aku nggak boleh cengeng dan putus asa. Ada Mikayla dan Ibu yang masih membutuhkanku. Hanya saja … aku sedih, Vy. Bapak pergi dengan amarah dan kecewa yang masih belum usai."
"Mel," telapak tangan Ivy mendarat pada pundak Camelia, "kita nggak tahu, di akhir hayatnya, siapa tahu Lek Darto memaafkanmu, kan? Nggak ada cara lain lagi. Kita hanya bisa melangitkan doa untuknya. Lalu, meneruskan hidup. Hanya itu. Selama belum mati, kisah kita belum usai, Mel. Belum final. Apa pun, bisa terjadi, kan?"
Sejenak, kalimat terakhir Ivy benar-benar menyenggol setiap sudut batin Camelia. Ya … kisah hidup belum usai. Apa pun masih bisa terjadi.
Dan … kesedihan serta penyesalan, hanyalah tinggal rasa. Yang nyata hanyalah kehidupan yang masih tersisa dan harus dijalani.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Terbit e-Book] Ayah untuk Mikayla
RomansaSetelah ditinggal begitu saja oleh suami seumur jagungnya, Camelia harus menerima kenyataan tentang kematian bapak dan beban utang dengan jaminan rumah satu-satunya. Mau tak mau Camelia harus berusaha memepertahankan dan meneruskan usaha toko alat t...