Camelia duduk di depan ruang ICU. Ia bercakap-cakap banyak hal bersama kakak dan ipar Bapak itu; perihal kesehatan Bapak, pun perihal keadaan Camelia.
"... sebenarnya, ndak ada yang namanya orangtua itu benci dan membuang anaknya, Nduk." Bu Lek menjeda kalimatnya. Dia menepuk pelan lutut keponakan yang duduk di sebelahnya. Sementara itu, Pak Lek Pamit untuk salat Asar.
"Inggih, Bu Lek. Saya akan berusaha paham."
"Nah … sebagaimana perasaan kamu ke anakmu, perasaan Bapak dan Ibumu juga sama. Tapi … kadang ada hal yang kita ndak bisa hakimi sebagai hitam dan putih, boleh ndak boleh. Bukan membenarkan sikap Mas Darto. Tapi … kalau di posisinya dengan semua yang terjadi sebelumnya, pun prinsip-prinsip yang dia pegang, tentunya … meskipun Bu Lek, ya, mungkin bakal melakukan hal yang sama."
"Inggih," jawab Camelia lirih. Dia masih menunduk.
Berbagai rasa berkecamuk dalam batinnya. Di satu sisi, ada rasa bersalah yang tiba-tiba mengusik hati. Camelia telah mempermalukan keluarga dengan yang telah terjadi. Tapi, di sisi lain dia tak bisa menerima penolakan dari kedua orangtuanya. Mengapa mereka sekeras itu? Bukankah, seburuk-buruknya anak, tetap tidak ada namanya bekas anak?
Sejenak, hadir pertimbangan di hati Camelia. Andai Mikayla melakukan kesalahan pun, dia pasti tak akan mampu membencinya. Memang mungkin Camelia pernah hampir melenyapkan janinnya. Tapi … ketika mulai terasa gerakan Mikayla di perut, perlahan dia tersadar. Apalagi kali ini, ketika wajah Mikayla dan semua rengekannya selalu bergema di telinga. Camelia tak peduli bagaimana cara Mikayla hadir dalam hidupnya. Karena sejak pergi dari rumah, hanya Mikayla satu-satunya keluarga yang dia miliki.
Dan keadaan Camelia tak jauh berbeda, kan? Dia adalah satu-satunya anak Bapak. Pun begitu, baru lahir setelah Ibu dan Bapak menikah selama 17 tahun. Tapi, satu aib yang sejatinya bukan kesalahan Camelia, mengapa bisa membuat keduanya seolah-olah menolaknya dengan sangat?
Sejenak, hadir ingatan berkelebat di benak. Ingatan tentang bagaimana Camelia akhirnya keluar dari rumah. Kala itu beberapa minggu setelah kejadian malam terkutuk itu. Camelia yang memang berusaha menutupi kejadian tersebut, sangat terkejut ketika bidan desa malah menyarankannya untuk melakukan tes kehamilan.
"Tapi, anak saya belum menikah, Bu," tegas Ibu dengan nada meninggi.
"Iya. Hanya saja … gejalanya, kok, seperti bukan masuk angin biasa. Minggu lalu, kan, sudah ke sini, toh? Sudah minum obat, tapi masih sama?"
Camelia seketika menunduk dan menggigit bibir. Tubuhnya bergetar hebat, tapi berusaha dia tahan. Keluhannya tiga minggu terakhir memang tak jua menghilang. Mual dan muntah-muntah. Tapi … penuturan bidan tadi benar-benar membuatnya terkejut. Mengingatkan kembali pada kejadian malam terkutuk itu. Malam yang ingin dia lupakan. Meskipun pasti, tak bisa dilupakan begitu saja.
Tentunya, sepulang dari klinik desa, Ibu langsung memaksa putri semata wayangnya itu untuk melakukan tes. Lantas, ketika dua garis merah terpampang jelas di batang testpack, dunia Camelia seketika dijungkirbalikkan.
Setelahnya, Hari-hari Camelia tak lagi sama. Ibu menjadi sangat pendiam setelah dua hari menangis. Pun Bapak yang sempat main tangan. Dan seminggu setelahnya, Camelia pergi dari rumah. Ia menumpang di tempat kost Ivy beberapa hari. Keadaannya kala itu, masih mengajar di sekolah Islam elit di kota. Tapi, ketika usia kehamilannya menginjak lima bulan, keadaannya tak bisa lagi ditutupi. Camelia diberhentikan dari pekerjaannya. Ah, semua terjadi begitu cepat. Terlalu cepat hingga tak mampu diingat jelas.
Keduanya masih saja bercakap-cakap beberapa saat. Bahkan, sampai Pak Lek datang dan ikut duduk di bangku panjang tersebut. Lantas, ketika Bu Lek tersadar bahwa hari sudah beranjak petang, dia menanyakan perihal Mikayla.
"Ada di parkiran, Bu Lek. Dijaga Ivy."
"Ya Allah, Nduk. Sudah mau Magrib. Kamu mending pulang saja dulu. Ndak baik bayi di luar rumah surup-surup begini."
"Tapi, Bu Lek, Bapak?"
"Ada aku sama Pak Lek-mu. Sudah, sudah. Kalau ada apa-apa, kami akan mengabari. Pikirin anakmu dulu, ya?"
Camelia menghela napas dalam. Ia menggigit bibir dan diam beberapa saat. Yang dikatakan Bu Lek benar. Tapi, ia ingin berada di samping Bapak. Jangan sampai terjadi hal tak diinginkan dan Camelia tak bersama lelaki cinta pertamanya itu.
"Bu Lek-mu bener. Mending kamu pulang. Biar aku sama Bu Lek-mu yang jagain Mas Narto," saran Pak Lek dengan nada suara lembut tapi meyakinkan.
Setelah menimbang beberapa saat, akhirnya Camelia mengiakan saran keduanya. Ia beranjak dan berpamitan. Lantas, segera melangkah menuju tempat parkir.
Ivy segera beranjak dan menunggu Camelia yang berjalan ke arahnya setelah membereskan sisa kulit kacang di sebelahnya. Rupanya, sedari tadi dia duduk di teras musala sembari menikmati kacang kulit.
Camelia menghentikan langkah di depan sahabatnya. Ia menghembuskan napas lega seraya menyunggingkan senyum. "Makasih, ya, Vy."
Ivy berdecak seraya mengibas-ngibaskan tangannya. "Halah, gak perlu melow. Sok romantis, tauk!"
Keduanya tergelak, lantas Camelia meminta Mikayla dari tangan Ivy. "Nggak rewel?"
"Anteng, kok. Barusan kubikinin susu," ujar Ivy seraya menyerahkan Mikayla pada ibunya. "Aneh. Kalau siang anteng. Semoga entar malem dia juga tidur tenang. Oh, ya, gimana keadaan Lek Darto, Mel?"
"Masih di ICU. Aku belum bisa masuk. Jadi, tadi cuma di depan ruangan sama Pak Lek dan Bu Lek." Camelia membenahi tali gendongan, memastikan posisi bayinya nyaman.
"Ya, udah. Kita berdoa aja semoga dia cepet pulih." Ivy meraih tas bayi setelah menepuk pelan pundak Camelia. Lalu, melangkah menuju motor.
Keduanya pulang menuju kontrakan Camelia. Ivy memutuskan untuk kembali menginap. Kebetulan, masih akhir pekan.
Rupanya, doa Ivy terkabul. Meskipun keduanya pulang menjelang petang, tapi tak ada drama terjadi pada Mikayla. Bayi tiga bulan itu bisa tidur cepat. Dia cuma merengek menjelang tengah malam karena popok yang basah. Lantas, kembali tidur tenang setelah berganti diapers dan meminum ASI. Mereka tidur di ranjang ruang tengah dengan Mikayla di antara Ivy dan Camelia.
Camelia baru saja menidurkan Mikayla yang yang terbangun kedua kalinya untuk meminum ASI ketika terdengar ponsel berdengung. Cepat-cepat, ia meraih ponsel yang diletakkan di samping bantalnya. Nama Pak Lek Ansar terpampang di layar. Seketika, cemas melingkupi hati Camelia. Jam digital pada ponsel menunjukkan angka 02.37 dini hari.
Segera, Camelia menggeser tanda hijau di ponsel dan berucap salam. "... ada apa, Pak Lek? Bapak baik-baik saja, kan?"
"Kamu tenang, ya, Nduk. Yang sabar," suara Pak Lek yang terdengar merendah dan berusaha menenangkan, malah semakin menimbulkan cemas yang menggurita di dada, "Mas Darto … sudah meninggal."
Ya Tuhan … apa lagi yang telah terjadi? Belum juga Camelia pulih dari jungkir balik kehidupan yang maha dahsyat, kini satu lagi hantaman besar yang harus dia hadapi. Bapak berpulang dalam keadaan konflik dan kemarahan dengan putrinya belum selesai. Camelia belum mendapat maaf darinya.
![](https://img.wattpad.com/cover/338045628-288-k59296.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
[Terbit e-Book] Ayah untuk Mikayla
RomanceSetelah ditinggal begitu saja oleh suami seumur jagungnya, Camelia harus menerima kenyataan tentang kematian bapak dan beban utang dengan jaminan rumah satu-satunya. Mau tak mau Camelia harus berusaha memepertahankan dan meneruskan usaha toko alat t...