DUA BELAS

341 49 1
                                    

Camelia berkacak pinggang seraya menyeka keringat di pelipisnya. Ia membenahi syal bermotif bunga-bunga yang menutupi rambutnya. Kemudian, memindai seluruh penjuru ruangan toko alat tulis dan fotokopi peninggalan Bapak yang baru selesai ia sapu. Toko yang sebenarnya bisa dibilang cukup besar dan lengkap. Dulu, toko itu sangat ramai pelanggan. Ruangannya juga luas, berukuran 5x6 meter persegi dengan tiga etalase berukuran tanggung sebagai display barang. Pun begitu, dua mesin fotokopi besar dan satu komputer beserta scanner yang sepertinya masih berfungsi baik. Hanger aksesoris menempel pada tembok di bagian dekat pintu masuk. Tak ketinggalan, dua rak gandola single di bagian sisi belakang toko, hampir menempel pada dinding.

Perlahan, Camelia menurunkan masker yang menutupi sebagian wajahnya hingga sampai ke leher. Lalu, menjatuhkan pandangan ke arah etalase bagian depan. Beberapa buku dan alat gambar sangat berantakan dan berdebu. Lalu, di sebelahnya etalase yang menghadap ke arah lain berisi perlengkapan sekolah dan pramuka. Keadaannya tak jauh berbeda. Berantakan. 

Dulu, ketika Ibu masih sehat, dialah yang selalu membersihkan dan menata tempat ini. Tapi, setelah terbongkarnya kehamilan Camelia, tinggal Bapak sendiri mengurus toko ini. Tak hanya itu, Bapak juga mengurus hidupnya sendiri.

Seketika, timbul ngilu yang mencubit hati. Apakah semua petaka ini kesalahan Camelia?

Ia kemudian mengembuskan napas panjang dari mulut, berusaha menghalau resah di hati. Bukan saatnya untuk terus tenggelam dalam rasa bersalah. Saat ini, yang terpenting adalah fokus menjalani hidup. Membayar utang Bapak, mencari tambahan biaya untuk pengobatan Ibu. Tak ada cara lain kecuali menghidupkan kembali toko ini. Dan sepertinya, masih banyak sekali yang harus dibenahi. 

Camelia meraih ponsel yang sedari tadi bertengger pada etalase. Lantas, ia menghubungi Ivy. Ia butuh bantuan sahabatnya itu untuk sekadar meminta pendapat tentang pembukaan kembali toko.

Butuh berapa kali degup jantung hingga Ivy mengangkat telepon. "Ya, Mel, ada apa?"

"Aku minta bantuan, dong, Vy. Enaknya kapan aku buka kembali toko ini?" Camelia melangkah dan duduk pada kursi plastik di sebelah mesin fotokopi.

"Ehm … itu, sih, suka-suka kamu. Emang apa yang jadi hambatan?"

"Banyak, Vy. Tempatnya berantakan banget. Sementara itu, aku nggak bisa satset kerjanya. Kamu tahu, kan, Mikayla mau empat bulan dan mulai belajar tengkurap. Nggak bisa ditinggal di kamar. Nitipin sama Bu Lek juga bukan ide yang bagus. Dia juga repot, Vy." Camelia kembali mengembuskan napas pendek. Dia melongok melalui pinggiran mesin fotokopi, memeriksa Mikayla yang tengah tidur pada kasur lantai yang diletakkan di pojok ruangan toko. Kebetulan, bayi itu tengah dan menikmati ASIP dari botol meskipun matanya terpejam.

"Ehm … kubantuin, deh. Gimana kalau Jumat sore sepulang dari kantor, aku ke sana lanjut nginep sampai Minggu sore?"

"Ah, Ivy. Saranghae …" ujar Camelia dengan nada suara dibuat seimut mungkin. Terdengar tawa Ivy di seberang. "Entahlah kalau nggak ada kamu gimana, Vy. Mana urusan ke pengadilan juga kucuekin. Lupa, Vy, baru ingat tadi pagi pas ditelepon pemilik kontrakan. Kiriman Aldan nyasar ke sana."

"Nyasar? Jadi, tetep dikirim ke sana?"

"Iya. Aku lupa nginfoin ke asistennya Aldan kalau udah pindah."

"Lah, terus gimana?" tanya Ivy dengan nada suara terdengar cemas. "Udah diambil?"

"Udah. Aku minta tolong Mas Bagas. Untung aja punya kenalan dia, ya, Vy?"

"Nah, hooh. Jadi lebih simple juga. Dia kan tahu kontrakanmu, juga tahu rumahmu."

"Lagian, aku cuma bisa ngubungin asistennya, Vy. Nomorku udah diblokir sama Aldan. Aku pingin cepet kelar dan dapet akta cerainya." Camelia mengembuskan napas panjang.

[Terbit e-Book] Ayah untuk MikaylaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang