SEPULUH

407 48 9
                                    

Saat sarapan, Bagas memperhatikan istrinya yang tampak semringah. Sejak kemarin, dia memang terlihat senang. Mungkin … karena bisa memiliki pakaian dan tas impiannya.

"Ngapain ngeliatin mulu?" Ariani melirik melalui ujung mata berbulu lentiknya, lantas memutar bola matanya. Bibir sigar jambenya menyunggingkan senyum miring.

"Ah, nggak. Sejak kemarin kamu kelihatan senang." Satu lengkung tipis bersamaan dengan embusan napas pendek dari pernapasan Bagas. 

"Tentu aja. Akhirnya, aku bisa punya baju dan tas merek itu. Itu artinya, untuk acara kumpul-kumpul sama temen lusa, udah nggak perlu dikhawatirin lagi." Ariani mengangkat bahu, lalu memasukkan sesuap nasi ke mulutnya.  

Hadir berbagai rasa di hati. Senang karena melihat istri yang dicintainya bahagia, tapi di satu sisi, ada perasaan bersalah dan merasa tak berguna yang mengusik. Ariani mendapat kebahagiaan itu bukan dari Bagas. Bukankah, ia telah berjanji untuk membahagiakan pujaan hatinya itu? Ah, ternyata Bagas tak benar-benar mampu memenuhi janjinya.

Sebuah memori masa lalu seketika muncul. Saat itu, Bagas masih duduk di bangku SMA. Seorang gadis benar-benar menarik perhatiannya. Gadis yang bagi Bagas sangat berbeda. Gestur tubuhnya, fitur wajahnya, sampai cara bicaranya, benar-benar menarik perhatiannya. Dialah Ariani.

Ariani merupakan idola sekolah saat itu. Paras ayunya telah menarik hati Bagas sejak awal mereka bertemu. Masih lekat dalam ingatan bagaimana ia selalu berusaha untuk memikat hati gadis ayu bermata indah itu. Tapi … tentu saja selalu ditolak. Ariani lebih memilih lelaki lain yang lebih kaya dan tampan. Sebagai primadona sekolah, tentu gadis cantik itu memiliki banyak pilihan. Sederet mantannya adalah para pesohor sekolah; bintang lapangan, pentolan OSIS, atau anggota band. Sedangkan Bagas, tentu saja tak masuk kriteria. Meskipun dia tak bisa dibilang jelek dan biasa-biasa saja—bahkan termasuk menonjol karena kecerdasan dan kreatifitasnya, tapi latar belakang keluarga yang sederhana, membuat Bagas otomatis tereliminasi.

Pernah suatu hari Bagas mengirimi pujaan hatinya itu hadiah bros cantik berhiaskan kristal sintetis. Hadiah yang bagi lelaki sederhana itu berharga lumayan. Tapi, Ariani menolaknya mentah-mentah.

"Nggak salah kamu ngasih ginian? Ini buat apa, Bagas? Bros murahan gini," tolak Ariani ketus.

Bagas sangat kecewa dan terluka. Tapi, ada satu harapan yang tak pernah menghilang sedetik pun dari hati. Suatu saat nanti, Ariani pasti akan menyadari perasaannya dan menerima cintanya.

Bahkan sampai mereka lulus SMA, dan masing-masing menempuh jalan hidup berbeda, Ariani tak melirik sedikit pun padanya. Bagas melanjutkan pendidikannya ke salah satu perguruan tinggi Negeri di Kota Jember, sementara Ariani berkuliah di Malang. Lantas, saat lulus dan kembali ke Probolinggo, mereka kembali bertemu. Meski telah terpisah bertahun-tahun, tapi gadis mempesona itu tetap memiliki tempat khusus di hati Bagas. 

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Benar saja, doa dan keyakinannya menjadi kenyataan, entah karena alasan apa, Ariani bersedia menikah dengannya. Bahkan kala itu, tak perlu usaha berarti bagi Bagas. Gadis pujaan hatinyalah yang datang sendiri padanya.

Masih lekat dalam ingatan, bagaimana Ariani tiba-tiba menghubungi dan mengajak Bagas berbicara empat mata. Mereka berjanji temu di salah satu tempat makan di kota. Kala itu, Bagas sudah bekerja sebagai Guru Sukwan di salah satu SD Negeri. 

"Gas, apa … kamu masih mencintaiku?" tanpa basa-basi, Ariani bertanya langsung. 

Bagas yang tengah menikmati mie, seketika terkesiap. Bagaimana ia harus menjawab? Apa maksud dari pertanyaan Ariani? "M-maksud kamu apa?" Ia menatap gadis di hdapannya dengan mata membeliak.

"Kalau kamu memang masih mencintaiku. Ini kesempatan untukmu, Gas. Aku nggak akan jamin bahwa ada kesempatan kedua." Raut wajah Ariani tampak serius. Iris kecokelatan indah itu menatap Bagas lekat-lekat. Bahkan, steak ayamnya masih belum tersentuh.

"Kesempatan? Aku beneran nggak ngerti, Ar." Bagas mengernyit. Hadir berbagai pemikiran dalam hati. Apakah mungkin Ariani menerima cintanya? 

"Nikahi aku, Gas. Datanglah ke orang tuaku dan lamarlah aku. Lalu, kita menikah secepatnya."

Meski terkejut dan hadir sepercik rasa janggal , karena semua terjadi begitu tiba-tiba, tapi … penawaran Ariani tak boleh disia-siakan. Bagas masih sangat menginginkan untuk bersama cinta pertamanya itu.

Bagas segera memenuhi keinginan pujaan hatinya. Setelah berpamitan kepada Bapak, mereka akhirnya datang melamar gadis impian Bagas. Lantas, pernikahan dilaksanakan secara sederhana tak sampai sebulan setelahnya. 

Masih terngiang jelas di telinga bagaimana Ariani kembali menegaskan betapa beruntungnya Bagas. "Aku memilihmu karena kupikir kau mampu menjadi suami bertanggung jawab, Gas. Karenanya, kuharap ke depannya kamu nggak ngecewain aku. Kamu harus menepati janji-janjimu. Buktikan kalau aku nggak salah pilih."

Bagi Bagas, Ariani adalah mimpi yang menjadi nyata. Cinta sejatinya, dan sosok yang tanpa disadari selalu mengingatkannya pada mendiang Emak. Ya … Bagas baru menyadarinya kemudian dari pendapat beberapa orang. Ariani begitu mirip dengan mendiang Emak.

Dalam hatinya, Bagas berjanji untuk selalu merawat dan mencintai Ariani, dan menjaga cintanya. Seperti Emak yang selalu memberikan kekuatan untuk terus maju dan tidak menyerah. Bagas merasa bahwa ia telah menemukan sosok Emak dalam diri Ariani.

Emak adalah cinta pertama sesungguhnya. Perempuan yang rela berkorban demi Bagas. Bagaimana tidak, sosok tangguh, mandiri, dan penyayang itu harus menukar nyawa demi putranya. Kala itu, Emak yang nenderita kanker rahim stadium lanjut, terpaksa menunda tindakan operasi karena bersamaan dengan Bagas yang hendak masuk perguruan tinggi. Hal yang menjadi perantara Emak berpulang. Dan hal itu menimbulkan luka dan sesal yang mendalam. Karenanya, dengan membahagiakan Ariani, Bagas merasa dia perlahan menebus kesalahannya kepada Emak.

Bagas masih berada di antara ingatan masa lalu dan kenyataan masa kini ketika Ariani tiba-tiba kembali berbicara, "... lusa aku mau ada perkumpulan, kan. Aku mau ikut arisan teman-temanku, Gas."

"Arisan dan perkumpulan apa?" Bagas mengernyit.

"Ehm … awalnya kami kenal melalui medsos. Aku udah ikut arisan lama. Sekarang mau ikutan acara kumpul-kumpulnya. Biar aku nggak suntuk, Gas. Ini juga berawal dari komunitas ibu-ibu di medsos. Acaranya positif, kok."

"Asal kamu seneng aja. Tapi … kalau arisan, bukannya harus mengeluarkan uang, ya? Meskipun nanti juga ada waktunya dapat." Bagas telah menyelesaikan sarapannya.

"Tenang aja, Gas. Kamu pikir, aku bakal minta. Sekarang, aku punya bisnis sendiri, Gas. Ah, andai penghasilan kamu nggak pas-pasan, pasti aku nggak perlu capek-capek berbisnis." Ariani berdecak. Dia pun telah menyelesaikan sarapannya.

"Maafkan, aku, Ar. Tes pengangkatan depan, aku janji, bakal lolos."

"Ah, udah berapa kali gagal mulu, Gas. Udah, deh, nggak usah janji-janji mulu. Capek dengernya." Ariani beranjak sembari membawa piring kotor dari meja ke tempat cuci piring. 

Mendengar ucapan istrinya, Bagas kembali terkesiap. Hadir kembali sejumput rasa bersalah yang perlahan menyebar menyelimuti hati. Bagas belum mampu memenuhi janji-janjinya.

"Aku nyuci piringnya nanti aja, Gas, ya? Aku harus keluar lagi buat berembuk soal acara lusa sama temen-temen." Ariani berbalik lantas berlalu ke arah kamar.

Bagas tak menjawab. Dia hanya mengembuskan napas panjang. Tidak ada cara lain lagi. Dia harus lolos tes PPPK tahun ini.

[Terbit e-Book] Ayah untuk MikaylaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang