SEBELAS

357 46 12
                                    

Motor bebek 125 cc itu melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalanan pagi Probolinggo menuju salah satu SD negeri tempat Bagas mengajar. Salah satu sekolah yang berada di daerah Kabupaten Probolinggo, sekitar empat kilometer ke Selatan dari rumah Bagas yang masih masuk kawasan Kota Probolinggo.

Ah, kalau bukan karena iming-iming penghasilan stabil dan berbagai tunjangan serta fasilitas, niscaya Bagas tak se-ngoyo ini untuk memperjuangkan keinginan menjadi guru PPPK. Dalam benak lelaki dua puluh sembilan tahun itu, menjadi pemilik usaha adalah pekerjaan yang jauh lebih menyenangkan. Mungkin memang berat di awal, tapi … kemerdekaan dalam berkreasi memiliki kenikmatan tersendiri di balik semua kesulitan yang ada. Bahkan, dalam usaha sekecil apa pun, dengan penghasilan seminim apa pun, kemerdekaan dan kebebasan berkreasi itu terasa sangat menyenangkan.

Bagas menghentikan motor di depan gerbang sekolah, lantas menuntunnya melintasi halaman menuju tempat parkir. Hari masih pagi, tapi … keadaan sudah mulai ramai. Sebagian siswa sudah berdatangan.

Sekolah tempat Bagas mengajar terletak di desa yang relatif terpencil jika dibandingkan dengan tempat tinggalnya. Dari jalan Kabupaten, ia masih harus masuk sekitar satu kilometer melewati jalanan berlapis makadam. Kebanyakan para siswa berasal dari latar belakang keluarga petani atau pedagang yang masih minim pengetahuan tentang pendidikan.

Setelah motor terparkir sempurna, Bagas segera menuju kantor sekolah. Ia meletakkan tas kerja pada meja, lalu duduk di kursinya. Ia berniat menyelesaikan beberapa laporan siswa bulan ini sembari menunggu bel sekolah berbunyi.

"Pak Bagas, dipanggil Kepala Sekolah."

Suara yang sangat familier membuat Bagas mendongak. Seorang rekan pengajar pria telah berdiri di depan mejanya.

"Oh, saya, Pak?" tanya Bagas seraya menunjuk diri sendiri, "Baik." Segera, ia beranjak dan melangkah keluar ruangan menuju ruang kepala sekolah di sebelah.

Bagas mengetuk pintu seraya berucap salam. Seketika perempuan berbadan kurus dan berkacamata itu mendongak. Ia menjawab salam dan mempersilakan Bagas untuk duduk pada kursi pojok kayu di ruangannya.

Mereka duduk pada kursi dan berbasa-basi sebentar. Ternyata kepala sekolah menginformasikan sebuah program pelatihan pendidikan yang akan diadakan minggu depan di Kraksaan. "... ini kesempatan, sih, Pak. Buat nambah sertifikat. Jadi, bisa sekalian untuk syarat mengikuti tes sertifikasi mengajar nanti."

"Wah … terima kasih banyak, Bu. Saya memang membutuhkan ini," jawab Bagas dengan wajah semringah.

"Kalau begitu, Pak Bagas segera persiapkan saja untuk mengikuti pelatihannya, ya?"

"Baik." Bagas beranjak karena bel sekolah berbunyi. "Saya pamit dulu. Sekali lagi terima kasih." Ia mengangguk hormat, lalu keluar ruangan.

Begitu ribetnya syarat bagi seorang pendidik hanya untuk mendapat tunjangan dengan nominal tak seberapa. Pun begitu tak keluar setiap bulan. Ilmu memang sangat murah di Indonesia. Maksudnya … tenaga pengajar dihargai murah. Tapi anehnya, biaya pendidikan bisa terbilang mahal. Entahlah, bagaimana aliran uang itu bisa begitu timpang?

Tapi, tak ada yang bisa Bagas lakukan selain berusaha. Paling tidak, alternatif selain menjadi guru PPPK adalah lulus ujian sertifikasi. Semuanya demi keluarga kecil yang sangat dia cintai. Pun demi Emak.

Ya, tak ada salahnya sepulang sekolah berziarah sebentar ke makam Emak. Meminta restu dan mengirim doa. Sepertinya, karena sangat sibuk, Bagas sudah agak jarang berziarah.

Bagas melangkah ke kantor sekolah, dia mengambil beberapa buku dan selanjutnya meneruskan langkah ke kelas empat, di mana dia harus mengajar pagi ini. Selama perjalanan menuju kelas, sekelebat pemikiran hadir di kepala. Semua yang Bagas lakukan ini hanya sebentuk tanggung jawab untuk keluarga. Pun begitu, menebus kesalahan yang lalu.

[Terbit e-Book] Ayah untuk MikaylaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang