Pemuda Aneh

71 10 0
                                    


Nathan berdirinya di depan cermin. Mematut diri dengan jari menyisir rambut basahnya. Tak lama seorang pria masuk ke dalam kamar pemuda itu, netranya memandang pada carier besar, di atasnya dipasangi matras yang sudah digulung rapi. Tanpa menganggu aktivitas sang anak, pria itu duduk di ranjang, tepat di belakang putranya berdiri.

Mau tak mau, Nathan harus memperhatikan kehadiran ayahnya yang ada di sana. Apalagi wajah pria itu tersenyum penuh arti.

"Kenapa, Yah?" tanya Nathan yang melihat lewat cermin.

"Hati-hati di sana."

"Tenang aja," kata Nathan terlewat santai.

"Kamu gak pernah ke gunung, Than. Jadi wajar Ayah khawatir."

Nathan balik badan, lalu duduk di samping ayahnya. "Tapi Ayah percaya, kan, sama Nathan?"

"Nggak."

Pemuda itu terkejut, keningnya berkerut atas jawaban sang ayah.

"Kok enggak?"

"Emang enggak, tapi Ayah yakin kamu bisa jaga diri, meskipun nanti di sana ada banyak rintangan. Ayah tau kamu ikut ini bukan karena kemauan kamu, tapi tolong jangan menyepelekan medan di sana, apalagi kamu dapat amanat untuk jaga Athalia."

Nathan tersenyum, ia tidak menyangka jika ayahnya akan sekhawatir ini. Padahal ia hanya akan pergi ke gunung untuk diklat lapangan. Namun, wajah Hendery yang tak menunjukkan bahwa apa yang ia katakan main-main melunturkan senyumnya.

"Sesusah itu?"

Hendery mengangguk.

"Jangan menyepelekan."

"Kalau gitu, Ayah datang aja. Ayah bisa bantu aku di sana."

Hendery menggeleng. "Kalau Ayah datang, Ayah gak bisa datang sebagai Ayah kamu, tapi alumni. Bisa bedakan, kan?"

"Tapi gak mungkin Ayah bakal tega sama aku."

"Karena kamu anak Ayah, Ayah akan tega sama kamu."

"Kok gitu???" Nathan melotot.

Tangan Hendery menepuk kepala Nathan, lalu membelai lembut. Setelahnya pria itu pergi, meninggalkan Nathan yang sekarang jadi overthingking.

"Bisa-bisanya bilang gitu tapi gak kasih solusi, gini banget punya orang tua," omel Nathan yang kemudian merebahkan diri di ranjang.

Tangannya ia lipat untuk dijadikan bantal, ia sedang berpikir sekarang. Memang tidak penting memikirkannya, tetapi sang ayah tidak sepenuhnya salah. Nathan memang tidak tertarik di dunia Mapala. Ia pulang karena panggilan sang ayah dan Candra untuk kuliah di tempat yang sama dengan Athalia.

Sedih sebenarnya meninggalkan negeri kangguru itu, karena ia sudah mempunyai banyak teman. Namun, sebenarnya ia pulang bukan hanya sekadar menuruti permintaan orang tua itu, melainkan ia ada maksud lain.

Maksud lain yang kini membuat badan Nathan bergerak mendekat ke nakas di samping ranjang. Matanya tertuju pada bingkai foto yang diisi oleh gambar dua anak kecil yang saling merangkul sembari tersenyum.

Nathan tersenyum.

Seolah mendapatkan lagi energinya yang lenyap karena bangun terlalu pagi.

***


Naura menghela napasnya menatap lembaran yang kini ia pegang. Lembaran itu berisi daftar kelompok diklat lapangan yang dilaksanakan mulai hari ini. Sedih melihat jumlah peserta diklat berkurang secara drastis. Padahal saat latihan kemarin jumlahnya masih 60 orang. Kini tersisa menjadi 24 orang saja.

Gravitasi | Haechan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang