10. MASALAH

223 13 0
                                    

Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatu, selamat membaca chapter sepuluh. Semoga puasanya lancar terus, aamiin. Enjoy guys 🔥

-

-

-

"Selain sok jual mahal, sok alim, ternyata lo licik ya, Far."

Perhatian Fara yang awalnya terfokus pada kertas ulangan harian fisika, beralih menatap Cici dan Syera, yang kini menatapnya dengan tatapan tak suka.

"Maksud lo apa? Nggak terima karena nilai Fara lebih besar, lebih tinggi?" tanya Dara. Ia terlihat bersiap membela Fara, dengan segala cara.

Fara menatap Syera dan Cici secara bergantian, salahkah jika dirinya mendapatkan nilai paling tinggi di kelas dengan hasil kerja kerasnya sendiri, walaupun hanya satu kali?

"Iya, gue nggak terima. Gue yakin kalo cewek itu pura-pura alim dan baik doang, dibalik kerudung gede itu, ada contekan," jawab Cici lantang menunjuk Fara dengan jari telunjuknya.

"Segitu terobsesinya kamu sama nilai sehingga nyangka yang nggak-nggak sama aku, Ci?" tanya Fara, ia benar-benar heran. Menjelek-jelekkan dirinya hanya demi nilai yang berupa angka.

"Halah, emang dasarnya lo cewek nggak baik juga. Nggak usah sok alim, lah!"

Syera dengan senyuman miringnya bersidekap dada. "Cewek nggak tau diri!"

"Gue nggak yakin kalo lo itu beneran cewek baik-baik, iya selama ini lo di pesantren, nyokap bokap lo baik-baik, lo selama ini sekolah. Tapi gue nggak yakin setelah pulang sekolah lo beneran balik apa nggak? Gue kasihan karena orang tua lo gagal mendidik anaknya dengan baik. Dijemput mobil, siapa yang nggak curiga kalo lo itu sim-"

"Jaga omongan kamu Syera!" Tanpa Fara sadari, ia lepas kendali dan membentak teman satu kelasnya.

Semua yang masih berada di kelas jelas terkejut, Fara yang biasanya selalu berbicara sopan dengan lembut, kini terdengar berteriak sedikit membentak.

"Kamu, kalo mau jelek-jelekin aku, nggak usah bawa orang tua aku. Cukup aku, kamu boleh silahkan permalukan aku, mau fitnah aku dengan berbagai gosip yang nyatanya hoax dan palsu itu, silahkan. Tapi jangan sekalipun bawa dan seret nama orang tua aku," jelas Fara dengan cepat.

"Terus kalo gue seret nama orang tua lo, lo mau apa? Marah sama gue? Yaudah sini, jambak, tampar aja," ucap Syera menantang, ia maju beberapa langkah ke hadapan Fara. Mengambil paksa tangan Fara, dan menempelkannya pada pipi Syera. "Ayo tampar, gue nggak takut!"

Tidak menyahuti ucapan Syera, Fara menarik kembali tangannya dengan kasar.

"Nggak berani, kan lo? Jangan sok berani makanya, udah sok alim, jual mahal, licik. Nggak usah pakai hijab kalo ujung-ujungnya lo pulang dijemput mobil terus di bawa ke hotel!"

Plak!

Fara menutup mulutnya kaget, bukan Fara yang menampar Syera. Namun Viona, gadis berambut blonde itu menampar Syera setelah mengucapkan kalimat cacian terakhir.

"Lo nyuruh Fara buat nampar lo, kan? Gue sebagai perwakilan Fara udah memenuhi keinginan lo," sarkas Viona dengan tatapan sinis.

"Apa-apaan sih, Na. Lo tampar sahabat lo sendiri!" Cici maju menghadap Viona, sedangkan Syera yang berada di belakang tempat sebangkunya diam tak berkutik memegangi pipinya yang terasa panas.

"Mulai sekarang dia bukan sahabat gue lagi, perempuan sombong, selalu mementingkan diri sendiri, kayak dia. Nggak pantes punya teman, gue udah terlanjur sakit hati karena dia!" ucap Viona, ia mendorong kasar pundak Cici hingga gadis itu mundur. "Puas lo Syer? Seneng, kan lo sekarang nggak ada lagi orang bisa nyaingin lo."

"Na, udah. Tenang." Gea dan Rosa menarik Viona agar kembali ke mejanya.

"Jangan pisahin gue, gue belum selesai!"

Melihat dan mendengar apa yang baru saja terjadi, perasaan Fara campur aduk. Masalahnya dengan Syera dan Cici malah melibatkan Viona, bahkan merusak persahabatan antara Viona dan Syera.

"Lo berubah, Na. Semenjak satu kamar di Yogyakarta sama cewek licik itu, lo berubah!"

"Gue nggak berubah, tapi lo yang egois! Lo mentingin diri sendiri daripada ikatan persahabatan yang harusnya awet! Jangan salahin Fara, harusnya lo yang introspeksi diri. Lo rendahin cewek baik kayak dia hanya karena nilai."

"Semua ini karena lo, munafik!"

Tangan Syera melayang di udara hendak menampar Fara, namun dalam hitungan detik. Allah melindungi Fara, tangan itu ditahan oleh seseorang dengan menggunakan gagang sapu, pahlawan itu sukses membuat Viona, Gea, Rosa dan Dara tersenyum senang.

"Aidan."

"Sesama perempuan harusnya bisa saling ngerti, baru juga gue tinggal satu jam. Udah pada ngerasa bebas, kalian lagi, bukannya pisahin malah nonton. Video-video, kayak dapet duit aja!" Aidan menurunkan gagang sapunya, mengetuk tangan Syera dengan kayu panjang itu, membuat si empu meringis.

"Jangan karena nilai, lo harus ngerendahin orang lain, malu kalo ujung-ujungnya kelakuan lo yang diluar nalar kebongkar," sambung Aidan.

Masih menggunakan gagang sapunya, Aidan memaksa Syera dan Cici untuk segera menggendong tasnya, menyuruh Viona untuk kembali ke mejanya.

"Bubar-bubar, pada balik sana. Nyokap lo pada nyariin nanti," titah Aidan.

Seketika kelas langsung dipenuhi rusuhnya decitan meja dan kursi, mereka segera pulang dengan menggendong tasnya masing-masing.

"Piket woy, jangan lupa!"

"Aidan, Arin, Hendra, Gea, Fara, Bima. Yang namanya disebut jangan dulu balik, piket dulu!" Teman Aidan yang menjabat sebagai seorang wakil ketua kelas membaca jadwal piket.

Masih dengan tatapan penuh kebencian dari Cici dan Syera, kedua gadis itu bergegas pulang.

°°°

"Selamat sore abang!"

"Sore juga, gimana sekolahnya, seru? Hasil ulangan fisika gimana?" sahut Fatih. Pria berumur sembilan belas tahun itu keluar dari mobil dengan kemejanya.

"Ulangan Fara paling tinggi di kelas loh, bang! Hampir sempurna."

Mengelak menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan kabarnya di sekolah, Fara mendahului menjawab soal ulangan harian fisika yang tadi dibagikan.

"Masa, sih? Bukannya kamu nggak suka fisika?" tanya Fatih mengelus kepala Fara yang terbalut kerudung putih.

"Awalnya aku emang nggak suka, tapi karena nilai aku besar. Kayaknya aku mulai agak sudah, deh."

"Yaudah, ayo buruan masuk mobil. Umi lagi bikin kue mangkuk, kesukaannya kamu," ajak Fatih. Tangan kanannya membukakan pintu untuk Fara.

Dengan senang hati, senyuman Fara langsung mengembang. "Terima kasih, paduka raja yang ganteng." Fara tertawa.

Setelah Fatih memasuki mobil dan menyalakan mesin. Perlahan mobil bercat hitam itu meninggal pekarangan sekolah.

Di dalam mobil, Fara membuka tasnya. Ia hendak memperlihatkan nilai fisika terbaiknya pada Fatih.

"Far."

"Kenapa, bang?"

"Di belakang kita kayak ada yang ngikutin, kamu ngerasa nggak? Udah ada dua hari, loh."

Fara menghentikan aktivitas mengacak-acak tasnya, ia menoleh ke arah kaca spion. Terlihat sebuah mobil mewah berwarna hitam.

"Yang hitam itu?"

"Iya, plat nomornya juga sama kayak yang selalu ngikutin kita dua hari ini," jawab Fatih.

-

-

-

See you again 💗

Qisat Fara [END]Where stories live. Discover now