18 ; teh

757 92 2
                                    

satu persatu pelanggan mulai meninggalkan kafe karena malam yang kian larut, hingga menyisakan ashel seorang diri. adelio sesekali memperhatikannya sambil membereskan daerah sekitar pantry, mulai dari menata gelas, mengelap meja, dan mengecek sisa-sisa persediaan. dari kacamata adelio, sejak ashel duduk di kursi itu, hanya raut serius yang adelio jumpai, seolah-olah gadis itu tengah bertarung dengan sesuatu. kening berkerut, decakan halus, dan pejaman mata.

jadi sekali lagi, adelio bertindak nekad, memilih untuk mengikuti kata hati.

"ashel," panggil adelio. persetan mau dipandang aneh atau apa, tapi adelio merasa harus melakukan sesuatu. ketika perhatian gadis itu berhasil di dapatnya, adelio melanjutkan, "suka teh, nggak?"

ashel diam sebentar. "su ... ka?"

adelio tersenyum, tidak mengindahkan intonasi ragu pada suara gadis itu.

seperempat jam kemudian, adelio keluar dari pantry sambil membawa dua gelas yang mengepulkan uap tipis ke meja ashel.

"semoga kamu nggak alergi leci," tutur adelio sembari meletakkan satu gelas di dekat gadis itu. "teh nggak kalah enaknya, kok. kadang lebih bisa bikin rileks daripada kopi. menurut aku, sih. dicoba, ya."

ashel tampak terkejut. "eh, makasih. maaf jadi ngerepotin kamu gini."

"nggak papa." adelio melirik jam di pergelangan, "take your time. kayaknya nutup kafe setengah jam lebih lama dari biasanya nggak masalah."

adelio kemudian berlalu keluar dari kafe, memilih untuk menikmati segelas teh leci hangatnya di beranda. teh leci hangat selalu mengingatkannya akan rumah; ibunya sering membuatkan teh ini ketika ia belum merantau ke jakarta. satu hal yang sangat membekas di hati adelio: mau seberapa larut adelio belajar ketika ia masih sekolah menengah, ibunya selalu menyempatkan untuk menemani dan menyuguhkan the ini. sebuah kenangan yang begitu adelio rindukan, juga disaat yang sama menimbulkan nyeri di dalam dadanya.

adelio baru beberapa sesapan menikmati tehnya ketika pintu kafe terbuka. ia menoleh, mendapati sosok ashel yang bergerak menempati tempat duduk di sebelahnya. mereka hanya dibatasi oleh meja silinder kecil.

"udah selesai?" tanya adelio heran. justru adelio keluar untuk menyediakan ruang bagi gadis itu.

ashel cuma tersenyum dan membuang pandang ke langit gelap. "kalo aku lanjutin, takutnya aku jadi makin gila."

adelio terkekeh, tak menyangka. "kuliah lagi hectic-hectic-nya, ya?"

ashel mempertemukan bibirnya dengan bibir gelas. menyesap tehnya
perlahan. "nggak juga, sih, cuma akunya aja yang lagi lemah."

pernyataan ashel berhasil menghadirkan sorot simpati dari kedua mata adelio. dan kalau adelio tidak salah melihat, ada selapis air yang mengambang di mata gadis itu yang kemudian diusir dalam beberapa kedipan.

Take it Away (Delshel) [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang