[ 5 ]

500 45 3
                                    

Hingga ia duduk di atas bus yang sedang mengantarnya dan penumpang lainnya, Jisoo belum membalas pesan tersebut.

Sudah hampir dua jam berlalu semenjak ia membiarkan pesan Wendy terbaca. Ia segera mengaktifkan mode jangan ganggu agar Wendy tidak memborbardirnya dengan pertanyaan.

Ia diam sejenak di dalam bus. Malam ini, orang yang mengajarinya mengemudi, akan datang. Jadinya, ia harus segera pulang agar orang itu tak menunggu lama. Sampai ia dapat mengemudi dengan baik, ia akan menggunakan transportasi umum ini.

Sepanjang perjalanan, matanya dimanjakan dengan bangunan tinggi kota Seoul yang berjejer rapi hampir menempel satu dengan yang lainnya. Sedangkan, pohon-pohon kecil seolah hanya menjadi pemanis di depan mereka. Berbanding terbalik dengan pemandangan di kota kecilnya. Pohon-pohon yang tinggi menutupi beberapa bangunan warga.

Ia mencoba menikmati pemandangan ini. Dengan beberapa mobil mewah yang berlawanan arah dengan bus yang ditumpanginya. Tetap saja, dengan kemewahan kota itu, tidak bisa menandingi betapa ia merindukan kota kecilnya itu sekarang.

Jisoo cepat-cepat pulang karena ia ingin menghubungi ibunya. Tapi, ia terhadang dengan Wendy yang sudah duduk manis di lobby apartemen GM Grup itu. Jisoo menghela, ia pura-pura tidak melihat Wendy. Sayangnya, Wendy sudah melihatnya dari jauh saat gadis itu baru berjalan memasuki gedung apartemen.

"Kau tidak membalas pesanku." Serang Wendy tanpa basa-basi. Ia berhasil mensejajari langkahnya dengan Jisoo yang baru saja mau menekan tombol lift. "Ada lebam kecil di pipi nona." Lanjut Wendy.

"Apa yang terjadi padanya?" Tanyanya lagi.

Jisoo merasa ada yang mendadak masuk di dalam matanya. Rasanya cukup perih sehingga ia meneteskan air matanya. Bersamaan dengan itu, bunyi denting terdengar dan pintu lift di hadapan mereka, membuka.

"Jisoo?" Tanya Wendy dengan nada yang melunak dari sebelumnya. Ia agak panik melihat Jisoo yang sepertinya menangis.

Jisoo mengucek matanya sembari memasuki lift. "Oh, ada sesuatu yang masuk." Ujarnya dengan menunjuk matanya.

"Kupikir kau menangis." Ungkap Wendy dengan perasaan lega.

"Nona baik-baik saja. Sepanjang aku bersamanya, tidak ada kejadian aneh. Soal lebam itu, aku tidak tahu sama sekali." Jisoo mencoba berbohong sebisa mungkin sembari hatinya berdoa agar Wendy tidak menaruh kecurigaan akan kebohongannya.

"Lain kali, usahakan jangan sampai lengah. Kau harus tahu apa yang terjadi padanya. Untung lebam itu sangatlah kecil."

Lift membuka lagi. Jisoo duluan keluar, disusul dengan Wendy. Mereka beriringan berjalan menuju unit tempat Jisoo tinggal.

"Katanya ada orang yang akan mengajariku mengemudi?" Tanya Jisoo. Kini ia sedang menekan kombinasi password apartemennya.

Wendy mengangguk. "Iyap, dia akan datang sebentar lagi."

Jisoo masuk ke dalam unitnya. Begitu juga dengan Wendy. Walaupun itu tempat tinggalnya, tapi ia tidak bisa mencegat Wendy untuk masuk seenaknya.

"Aku mau mandi dulu." Jisoo berujar lalu masuk ke dalam kamar, meninggalkan Wendy sendirian sembari melihat ke seluruh ruangan.

Sepertinya, Jisoo cukup tidak peduli dengan interior. Tapi, ia cukup rapi dengan sofa bekas ia duduk tadi malam, kini sudah dalam keadaan rapi. Padahal, kalau ia duduk, ia suka seenaknya memindahkan bantal sofa.

Selagi menunggu Jisoo membersihkan badannya, Wendy kembali bekerja dengan ponselnya itu. Yap, sebagai satu dari sekian banyak sekertaris GM Grup, Wendy hampir sama sibuknya dengan direktur GM Grup. Berbekal ponsel pintar yang selalu dengan model rilis terbaru di tahun itu, Wendy melakukan pekerjaannya dengan lancar.

DERN [ JENSOO ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang