[ 10 ]

407 52 4
                                    

"Kali ini, apalagi?"

Walau memang tak pernah disambut dengan hangat, Minyoung sesekali hanya berharap cucunya tidak memberinya sakit kepala. Kala wanita itu mulai berjalan dengan heels-nya melewati meja makan, matanya menangkap sesuatu yang tidak wajar.

Kehadiran Jennie di meja makan, seolah memang sedang menunggu kemunculannya.

Minyoung tahu, cucunya itu tidak sekedar menunggunya untuk makan malam. Maka, ia pun hanya berdiri saja dan melontarkan pertanyaan yang tak menyenangkan itu.

"Bukannya saya yang harus menanyakan hal itu?" Jennie mulai mengeluarkan suaranya. Bersamaan emosi yang dipendamnya sedari tadi. "Kali ini, apalagi yang coba halmeoni perbuat?"

"Aku tidak mengerti maksudmu." Ucap Minyoung, seraya melipat naik kemejanya. "Aku hanya berbuat sesuai apa yang harusnya keluarga kita perbuat. Apa itu salah?"

Jennie menarik dalam-dalam nafasnya. Sungguh, ia sangat kesal dengan perkataan itu. Seolah, keluarga ini adalah hal yang paling benar di dunia ini. "Jangan ikut campur urusanku." Ucapnya dingin.

"Aku tidak akan mencampurinya selama kau besikap manis. Kau tahu 'kan betapa pentingnya masa ini untukku?" Minyoung berujar dengan penuh tekanan di setiap katanya. "Kalau sekarang saja aku bisa melakukan banyak hal, bagaimana nanti?"

"Selama kau bersikap manis, aku jamin semuanya akan berjalan dengan manis juga." Lanjut Minyoung. Matanya menatap tajam ke arah cucu satu-satunya. Ia bahkan dalam hati berdoa agar cucunya sekali saja mau mendengarkannya.

"Jadi, benar 'kan? Kalau halmeoni lah yang membuat adik Park Sooyoung, dirundung di sekolahnya?"

Minyoung tak langsung menjawab. Tapi, ada gestur yang tidak bisa disembunyikan oleh wanita itu sehingga Jennie jadi punya jawaban akan pertanyaannya sendiri. "Kenapa? Kenapa halmeoni melakukan itu?"

Minyoung memiringkan kecil bibirnya. "Bocah itu. Sok berani. Dia meremehkanku."

Jennie cukup tak mengerti dengan kata-kata Minyoung.

"Dia mencoba memerasku dengan beberapa video pertengkaran kalian. Dia pikir, aku tidak bisa membalas balik? Bodoh." Minyoung memberikan tawa remehnya. "Dia pikir dia siapa?"

"Kau juga. Kenapa tidak pernah memberitahuku? Apa dia adalah alasanmu pulang dengan keadaan tidak karuan selama ini?"

"Apa perlu kukeluarkan dia sekarang juga? Apa perlu juga keluarganya kuhancurkan? Sepertinya menyentuh adiknya cuman seperti gelitikan untuknya."

Jennie muak mendengar itu. Bagaimana neneknya bisa dengan mudah mengucapkan hal-hal semenyeramkan ini?

"Bisa tidak halmeoni berhenti mengatakan dengan mudahnya untuk menghancurkan kehidupan orang lain?" Sahutnya kesal. Kesal karena mengapa satu-satunya keluarga yang ia miliki, mempunyai sifat iblis seperti ini?

Minyoung menoleh lalu menggelengkan kepalanya. Masih tak menyangka mempunyai cucu seperti Jennie. "Benar-benar mirip ibunya."

Mendengar itu, sontak tangan Jennie terkepal. Gadis itu lalu mendongak untuk melihat mata milik neneknya. Satu-satunya hal yang ia akui, mirip dengan dirinya. "Jangan sebut Eomma!"

Seringai kecil, muncul di sudut bibirnya. Masih saja sama cara untuk membangkitkan emosi dari gadis itu. "Lemah. Kau tahu itu? Kalau memang kau tak ingin disamakan, tunjukkan! Tunjukkan kalau kau tidak lemah. Cih."

Minyoung langsung pergi setelah memberikan decihan merendahkannya. Jennie dengar itu, Jennie lihat itu. Dirinya ingin memberontak, minimal mendorong tubuh paruh baya neneknya itu untuk menuntaskan rasa sakitnya. Kalau bisa, biar mati saja sekalian. Tapi, kakinya tak bisa digerakkan. Hanya, buku-buku jarinya yang mulai memerah akibat emosinya yang menumpuk karena wanita itu.

DERN [ JENSOO ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang