lima - tamparan keras

328 76 16
                                    

Di malam Dinar memutuskan hubungan mereka, rasanya sakit tapi masih bisa Brina tahan. Sebab menurut Brina, alasan Dinar masih sangat masuk akal, dan mereka nggak punya pilihan kalau nggak mau melawan orang tuanya Dinar.

Di detik Brina tau kalau Dinar diam-diam sudah bertunangan dengan orang lain, rasanya sakit bukan main. Brina seperti dihancurkan dari dalam, bahkan sakitnya sampai membuat Brina nyaris mati rasa.

Cukup lama Brina mematung di tempat setelah melihat foto Dinar bersama perempuan bernama Sashi itu. Jantungnya berdegup begitu kencang hingga dadanya terasa sakit. Tapi Brina nggak nangis karena airmatanya nggak bisa keluar. Padahal, Brina sedih. Patah hati.

Momen mereka putus kemarin nggak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan sekarang. Dinar yang bertunangan dengan orang lain hanya seminggu setelah mereka putus. Buruknya lagi, Brina mengetahui itu bukan dari mulut Dinar langsung.

"Beb, are you okay? Maaf ya...gue nggak maksud bikin lo kaget."

Dwi khawatir dan merasa bersalah melihat Brina yang shock.

"Lo pucet banget, Beb. Gue—"

"Nggak apa-apa kok." Brina memotong perkataan Dwi, kemudian mengembalikan ponselnya. "Gue nggak apa-apa. Makasih ya infonya."

"Duh, Brin...gue jadi nggak enak. Maaf..."

"Ih, kenapa minta maaf? Justru kalau lo nggak bilang, gue nggak akan tau. So thank you, really."

Dwi mau bicara lagi, tapi Brina sudah keburu berpamitan dengannya. Dia pun kagum pada diri sendiri karena masih bisa melempar senyum untuk Dwi sebelum pergi meninggalkan toilet.

Setelahnya, Brina merasa ling-lung. Kesadarannya seolah hilang separuh karena pikirannya mengambang. Brina rasa tubuhnya bergerak sendiri mulai dari ia berjalan keluar dari toilet, menuju lift, hingga keluar dari gedung kantor.

Bahkan Brina juga nggak sadar saat ia memesan ojek online karena pikirannya sama sekali nggak ke sana. Kesadarannya baru mulai terkumpul ketika ojek online yang dia pesan tiba di tempat tujuan. Rupanya Brina nggak memesan ojek online dengan tujuan ke kosnya, melainkan gedung apartemen Dinar yang alamatnya memang sudah dia hapal di luar kepala.

Waktu sudah menunjukkan hampir pukul enam ketika Brina tiba. Cukup lama dia cuma berdiri di depan gedung itu seperti orang ling-lung. Sebagian dari diri Brina bertanya-tanya kenapa bisa dia sudah berada di sana, tapi sebagian dirinya yang lain sadar kalau ia harus bertemu dengan Dinar.

Padahal belum tentu Dinar sudah berada di apartemennya jam segini, karena biasanya lelaki itu baru pulang setelah peak hour jalanan macet. Kalau nekat menggedor unit kamar Dinar, bisa jadi Brina nggak akan dapat jawaban karena memang nggak ada orang.

Tapi satpam gedung apartemen itu yang memang sudah hapal dengannya, menghampiri Brina yang bengong dan menyapa dengan ramah.

"Mau nge-date sama Mas Dinar ya, Mbak? Pantesan hari ini Mas Dinar pulang cepet."

Oh, betapa Brina harap yang terjadi begitu. Dia datang ke sini untuk berkencan dengan Dinar alih-alih mengonfrontasinya soal kabar lamaran itu.

Brina hanya bisa menyunggingkan senyum sopan pada bapak satpam itu, kemudian ia melangkah menuju lift setelah mendapat informasi yang dia butuhkan.

Nggak butuh waktu lama bagi Brina untuk tiba di lantai unit apartemen Dinar. Setelah keluar dari lift, kakinya melangkah cepat menuju unit apartemen yang sekian minggu lalu masih sering dia datangi.

Brina menekan bel begitu tiga di depan unit apartemen itu. Padahal Brina tau apa passcode dari smart door lock pintu itu yang nggak lain dan nggak bukan adalah tanggal anniversary mereka. Tapi rasanya Brina nggak kuasa untuk langsung masuk ke sana. Brina takut semakin sakit hati jika harus menerima kenyataan kalau Dinar sudah mengganti passcode pintu itu setelah mereka putus.

Gara-Gara WetonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang