tiga belas - malibu nights

529 81 89
                                    

Jam empat pagi Brina tiba di rumah Tante Windy setelah perjalanan kurang lebih tujuh jam naik mobil dari San Fransisco. Setelah mengabari Lingga kalau dia sudah sampai, sekaligus juga mengirimkan lokasi rumah Tante Windy—sesuai permintaan Lingga, Brina tidur persis orang mati. Lelah bukan main selepas perjalanan jauh.

Bangun-bangun sudah jam sembilan pagi. Itu pun karena ponselnya meraung-raung, yang ternyata ada telepon dari Lingga.

"Brinani Brinani Brinani!!!" Lingga menyapa ceria tepat setelah teleponnya diangkat. Terus tanpa babibu cowok itu bilang, "Jam sepuluh aku sampe rumah tante kamu ya. See you very very soon!"

Ya Tuhan, nyawa Brina yang tadinya baru terkumpul setengah, otomatis jadi terkumpul sepenuhnya gara-gara Lingga. Mana teleponnya langsung dimatiin Lingga, tanpa kasih Brina kesempatan untuk kompromi waktu karena jujur aja Brina belum siap sama sekali.

Alhasil Brina langsung lompat dari tempat tidur dan bersiap secepat kilat karena dia cuma punya waktu kurang dari satu jam sebelum Lingga datang. Brina mandi secepat yang dia bisa, lalu mengeluarkan semua sisa baju bersihnya yang ada di koper.

Berhubung sudah mendekati waktu pulangnya Brina ke Indonesia, jelas nggak banyak pilihan outfit-nya yang tersisa lagi. Brina nyaris stress karena kelabakan sendiri mikirin MAU PAKAI BAJU APAAA? Tapi akhirnya dengan menerapkan prinsip less is more, Brina memutuskan untuk pakai kemeja putih oversize dan celana katun abu-abu.

Dari waktu satu jam itu, jelas yang paling banyak memakan waktu adalah dandan. Make up Brina memang nggak ribet karena dia memang sukanya make up natural yang seminimal mungkin. Tapi kalau urusan nyatok rambut? Wah, nggak perlu ditanya. Brina butuh waktu lama untuk nyatok rambut hitam legamnya yang panjang dan sehat itu. Karena ada rangkaian hair care yang nggak akan bisa Brina skip supaya rambutnya tetap shining, shimmering, splendid!

"Ah elah, harusnya nggak nyatok aja,"
keluh Brina yang masih sibuk dengan catokan begitu dilihatnya tinggal sepuluh menit lagi sebelum jam sepuluh.

Tapi gimana ya? Kalau nggak nyatok entar rambutnya lepek. Brina kan maunya terlihat se-presentable mungkin.

Akhirnya jam sepuluh lewat sepuluh, Brina baru beres siap-siap. Untung aja Lingga belum sampai karena lelaki itu nggak mengabarinya lagi. Kemungkinan besar masih di jalan.

"Tanteee, aku mau jalan sama Lingga ya! Sebentar lagi dia sampe deh kayaknya." Sambil menuruni tangga rumah Tante Windy, Brina berseru pada tantenya yang sayup-sayup dia dengar sedang mengobrol dengan omnya di lantai bawah. "How do I look, Tan? Uncle?!"

Niat hati mau menunjukkan penampilannya sekarang pada Tante Windy dan Uncle Jeremy yang ada di bawah, Brina justru dikejutkan dengan tiga pasang mata yang kini menatapnya. Nggak cuma ada om dan tantenya aja, tapi sudah ada Lingga yang duduk manis bareng mereka di ruang makan!!! Kok bisa?!?!

Muka Brina spontan memanas.

"Kapan sampenya?!" seru Brina pada Lingga yang sekarang lagi cengar-cengir.

Udah akrab banget kayaknya si Lingga sama Tante Windy dan Uncle Jeremy. Karena bisa-bisanya dia duduk santai bareng mereka, sambil ngopi lagi!

"Lingga udah sampe dari setengah jam yang lalu," jawab Tante Windy sambil tersenyum menggoda. "Baik banget lagi, pake repot-repot bawain bagel buat kita brunch. Tau aja Lingga kalau Tante belum masak karena masih capek."

"And the bagels are good!" Uncle Jeremy menambahkan.

"Terus kenapa nggak bilang kalo Lingga udah sampe?" protes Brina.

"Aku sampenya kecepetan, Brinani. Daripada nanti kamu kelabakan, jadi aku minta Tante Windy buat nggak kasih tau kamu dulu," jelas Lingga. Lelaki itu masih cengar-cengir, tapi matanya memandangi Brina lekat dari ujung kaki hingga ujung kepala. "Anyway, you look beautiful. Just as beautiful as I remember."

Gara-Gara WetonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang