delapan - cuti patah hati

333 76 25
                                    

"Anjrit, yang bener aje?! Lo seriusan mau ke Amrik?!"

"Ngabisin cuti banget?!"

"Healing lo mahal ya, Beb!!!"

Di Senin pagi yang cerah ini, Brina disambut oleh reaksi bersahutan dari teman-temannya. Seperti biasa, Aidan, Camel, dan Rara ngumpul mengelilingi bilik kerja Brina sebelum jam kerja mereka mulai. Dan yang membuat mereka memunculkan reaksi bersahutan itu adalah informasi yang baru saja diberikan oleh Brina sekian menit lalu.

Masalahnya, suara mereka tuh gede banget di saat kondisi ruangan sudah mulai ramai. Beberapa karyawan lain sampai menoleh kepo, tertarik ingin tau siapa yang digembor-gemborkan Aidan mau ke Amerika.

"Tolong ya suara kalian biasa aja, entar banyak yang tau jadinya gue mesti banyak bawa oleh-oleh," sungut Brina. "Lagian udah dibilang, gue mau nyamperin tante gue di sana. Tiket pesawat sama tempat tinggal on her, jadi gue tinggal bawa badan aja."

"Berangkat kapan?"

"Minggu depan kalau cuti gue di-acc."

"ANJRITTTTT, MINGGU DEPAN BANGET?!"

Brina beneran udah nyerah sama mulutnya Aidan.

Tapi ya nggak bisa nyalahin juga karena teman-temannya ini jelas kaget. Lusa kemarin mereka baru aja nyamperin Brina di kosnya dan melihat sekacau apa Brina pasca kejadian dengan Dinar. Seharian mereka nemenin Brina galau, bahkan Rara dan Camel yang baru pulang dinas pun langsung nyamperin Brina dalam posisi belum balik ke rumah sama sekali.

Waktu cerita ke mereka, Brina udah nggak nangis lagi. Airmatanya sudah terlanjur kering dan habis karena dipakai nangis semalaman, menghasilkan kedua matanya membengkak hingga nyaris sebesar bola ping-pong.

Aidan, Camel, dan Rara marah banget setelah tau semuanya. Bahkan Aidan sempat berniat untuk nyamperin Dinar dan gebukin tuh cowok karena nggak terima temannya disakitin begitu, tapi untungnya Brina berhasil menahan Aidan untuk nggak melakukan itu. Dia nggak mau memperpanjang masalah, apa lagi kalau sampai Aidan jadi masuk buih gara-gara gebukin mantannya.

Setelah satu hari itu galau berat kayak orang hidup segan mati tak mau, besoknya Brina merasa jauh lebih baik. Sedih dan patah hati sih masih, tapi dia sadar kalau nggak seharusnya terpuruk berlarut-larut. Brina justru bertekad harus segera move on dan dapat laki-laki yang lebih baik dari Dinar. Walau sebagian dari diri Brina sangsi sih dia bisa nemu yang begitu, mengingat sekarang ini yang sering kelihatan justru laki-laki brengsek.

Kebetulan banget, hari itu Brina dapat telepon dari mamanya yang ada di Palembang. Berhubung mamanya menanyakan kabar Dinar, mau nggak mau Brina mengaku kalau mereka sudah putus. Biar di kemudian hari nggak ditanya-tanya lagi.

"Loh...kok putus, Dek? Katanya udah ada rencana mau nikah kapan."

Rasanya nyes banget waktu Brina dengar mamanya ngomong begitu. Kentara banget kecewa. Karena berbanding terbalik dengan keluarga Dinar yang nggak setuju sama Brina, keluarga Brina justru sudah sangat setuju dan suka sama Dinar.

"Emang bukan jodoh, mau gimana lagi, Ma?"

"Kalian berantem karena apa? Perasaan belum lama masih baik-baik aja Mama liat."

"Ya ada lah pokoknya, nggak cocok aja."

"Dia selingkuh...Dek?"

"Enggak, nggak ada yang selingkuh. Pokoknya emang bukan jodoh aja, jadi jangan ditanya lagi. Jangan ngarep balikan juga karena nggak akan."

Brina terlalu nggak sanggup untuk cerita yang sebenarnya ke Mama karena tau mamanya bakal sedih. Orang tua mana coba yang nggak akan ikut patah hati kalau tau anaknya direndahkan oleh orang lain? Jadi Brina lebih memilih menelan pahitnya sendiri.

Gara-Gara WetonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang