Dilema

267 30 4
                                    


Serly terpaku di atas brankar sambil memeluk kedua lututnya, jarum infus masih menusuk tangannya, namun semua rasa sakit dalam tubuhnya tak sebanding dengan sakitnya hati yang penuh penyesalan. Saat semua impian itu kandas, saat semua perjuangan terasa sia-sia, ia baru sadar satu hal bahwa keputusan meninggalkan Kadafi adalah pilihan paling bodoh yang pernah ia lakukan.

Kini nasi sudah menjadi bubur, hati Kadafi sudah bukan miliknya lagi. Sudah begitu jauh ia melukai dan semua itu baru Serly sadari saat ini.

Dulu mereka berjuang bersama dalam merintis karir di dunia musik, menjadi suport sistem satu sama lain, berbagi suka maupun duka di industri yang penuh persaingan, juga saling berbagi rasa hingga lima tahun berlalu. Serly mulai sadar bahwa seluruh perjalanan karirnya selalu ditemani Kadafi, sehingga ketika tidak lagi bersama luka itu terasa begitu nyata.

Perih, dan yang tersisa tinggal penyesalan.

Bisakah masa lalu terulang kembali? Bisakah hati Kadafi ia miliki lagi? Terkadang ia ingin mengulang masa lalu dan tidak akan meninggalkan Kadafi barang sedetik pun.

"Maafkan aku." Setetes airmata mengalir, Serly memaki diri sendiri yang begitu tolol dan bodoh.

Serly tertunduk terisak sambil meremas selimut yang menutupi kedua kakinya.

"Serly!" Suara seseorang yang baru saja membuka pintu ruang rawat dan membuat Serly terkejut.

"Mama!" Teriak Serly dan airmata yang ia tumpahkan semakin menderas. Mereka pun saling melepas rindu yang sudah beberapa bulan tertahan karena jarak.

***

Kadafi melamun menatap setumpuk lembar pemeriksaan yang ada di hadapannya, bukan untuk memikirkan betapa tugas sebagai ko-as lebih berat dari tugas kuliah, tapi memikirkan apa yang baru saja terjadi. Pengakuan Serly, juga pengakuan dirinya pada Kirana.

Padahal ia ingin fokus sampai gelar dokter itu ia raih, padahal tadinya setelah putus dari Serly ia tidak ingin menambatkan hati di lain tempat, namun takdir berkata lain. Kali ini lebih rumit dari bayangannya.

Kadafi menghela nafas lelah.

"Ada ibu-ibu yang nyari kamu di luar, Daf." Kata Maria, salah satu teman ko-as Kadafi yang magang di unit UGD juga. Dia baru saja masuk ruangan sambil membawa beberapa buku.

Kadafi segera membuyarkan lamunannya, "Siapa?"

"Aku tidak kenal, tapi dia menunggumu di luar. Katanya penting." Jawab Maria sambil berlalu, dan Kadafi pun bangkit dari duduknya.

Tidak merasa punya janji dengan pasien, pun tidak merasa punya kenalan ibu-ibu di kota besar ini, dengan sedikit santai Kadafi berjalan keluar ruangan.

"Tante Dewi!"

Kadafi begitu kaget melihat siapa wanita paruh baya yang sedang duduk di kursi tunggu. Wanita itu adalah mamanya Serly, Kadafi jelas sangat mengenalnya. Dulu saat masih merintis karir bersama Serly di salah satu ajang kompetisi menyanyi, tante Dewi menjadi salah satu orang penting, seperti orangtua sendiri yang selalu memotivasi. Apalagi selama berpacaran dengan Serly, peran tante Dewi sangat berarti. Namun hari ini, entah kenapa justru Kadafi merasa khawatir dan kalau boleh memilih ia tidak ingin bertemu.

"Kadafi, sudah lama tidak bertemu."

Kadafi tersenyum mengangguk sambil menjabat tangan tante Dewi, dan Kadafi pun duduk di dekatnya.

"Saya dapat kabar dari Mami kamu kalau kamu ko-as di rumah sakit ini, dan kebetulan karena Serly sedang di rawat di sini, jadi Tante menemuimu. Semoga kamu tidak keberatan."

Terjebak Dalam Masalalumu ( Selesai )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang