Sebuah Takdir

342 41 7
                                    


Setelah memutuskan berhenti bekerja di lokasi Suting, kini Kirana benar-benar seorang pengangguran. Meskipun mungkin ia sudah aman karena tidak perlu bertemu Serly lagi, namun huru-hara di sosial media masih sangat panas. Para fans Serly terus menyerang Kirana dari berbagai arah dengan tuduhan tanpa bukti dan tanpa hati. Mulut mereka lebih tajam dari pedang, sebab itu Kirana menonaktifkan semua akun media sosialnya. Ia tidak mau lebih banyak sakit, apalagi jika sampai down mental. Sudah cukup berhenti bekerja menjadi konsekuensi atas keputusannya.

Kirana memandang kaos putih itu, yang ia lipat rapi di atas tempat tidur, tanpa terasa air matanya mengalir.

"Begini amat nasib fans yang terlalu mengidolakan artis, begitu bodoh hingga apa saja dilakukan meskipun harus terluka dan kelaparan."

Airmata Kirana makin deras mengalir. Ia ingat dengan ibunya yang hidup sendiri setelah bercerai dengan ayahnya lima  tahun lalu. Sejak saat itu semua nampak gelap bagi Kirana, sehingga ia melampiaskan semua kesedihannya dengan memberikan hatinya pada idolanya. Saat itu kehadiran Serly dan Kadafi di TV membuat hari-hari berat Kirana menjadi lebih ringan, ia bisa bahagia hanya dengan mengidolakan mereka, namun kini? Rasa sakit kehilangan ayah bajingan itu ternyata tak sesakit saat dihujat di media sosial.

"Lama-lama aku bisa mati di kamar kos ini." Kirana berteriak kesal sambil terus menangis sesenggukan.

Beberapa detik kemudian sebuah pesan masuk di handphone-nya, dari Bang Hari, Editor Vidio di lokasi Suting tempat Kirana dulu bekerja.

Bang Hari.

Kamu dimana? Bisa bertemu sekarang juga, aku ada di resto dekat lokasi Suting utama. Penting, segera bales ya.

Kirana terdiam sesaat, tidak biasanya bang Hari kirim pesan. Karena tak juga mendapat balasan dari Kirana bang Hari pun telpon, dan dengan sedikit ragu Kirana pun mengangkat telpon tersebut.

"Heh, kamu di mana sih? Kok gak segera balas pesan?" Suara bang Hari nampak kesal di ujung sana.

"Aku di kos, bang. Ada apa?"

"Penting banget ini, ada yang ingin bertemu denganmu. Bisa kamu ke sini, dia sudah lama menunggu!" Suara bang Hari kian keras.

"Siapa bang? Aku tidak mungkin keluar kos dalam kondisi saat ini. Semua orang pasti sudah mengenalku."

"Ah itu tidak penting, ini lebih penting. Aku tunggu sekarang juga, kalau tidak kamu akan menyesal seumur hidup." Bang Hari pun menutup telpon secara sepihak tanpa menunggu jawaban Kirana.

Kirana menghela napas kesal. Di saat situasi makin rumit dan panas ia harus keluar rumah dengan tujuan belum jelas.

***

Hari itu, entah angin gurun mana yang sudah menerjang hati Kirana, demi aman dari serangan haters di luar sana ia memberanikan diri pakai hijab. Sungguh ini bukan niat memakai karena ingin atau telah terbuka hatinya, namun karena keadaan. Entah nantinya ia akan semakin dihujat atau tidak, yang pasti ia ingin berlindung dari publik dengan hijab dan masker di wajahnya.

Resto yang dijanjikan bang Hari nampak sepi, namun Kirana tetap waspada karena bisa jadi banyak kamera mengintainya. Ia kaget saat tahu siapa yang sedang duduk di depan bang Hari saat itu. Kadafi??

Tiba-tiba tremor itu kembali terulang, namun kali ini ada rasa sesak yang membuat nafasnya terasa begitu berat. Kirana berusaha menenangkan diri sambil menepuk-nepuk dadanya, dan ia pun berjalan menghampiri mereka.

"Kamu?" Bang Hari kaget sambil mengamati Kirana dari ujung sepatu hingga ujung kepala.

"Aku terpaksa karena terlalu takut." Jawan Kirana tertunduk, sedang Kadafi hanya tersenyum mengangguk.

Terjebak Dalam Masalalumu ( Selesai )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang