Broken Hurt

310 40 4
                                    



Kirana berjalan gontai menuju halte yang tidak jauh dari apartemen Kadafi. Ia seperti orang bingung dan linglung, masih tidak percaya dengan apa yang sudah terjadi beberapa saat lalu. Pertemuan yang dinanti ternyata diluar espektasi. Entah setan apa yang membuat Kadafi tiba-tiba berubah dan menjaga jarak.

Setetes airmata meluncur jatuh, beruntung halte sepi dan gerimis pun turun, sehingga Kirana tidak perlu menutupi diri bahwa dia sedang menangis.

"Harusnya aku tidak perlu menanam cinta terlalu dalam, karena aku memang tidak tahu siapa Kadafi sebenarnya. Tapi? Jika hanya perasaanku, lantas kenapa sampai harus menjaga jarak dan berkata sekejam itu. Aku bahkan tidak berharap mendapat balasan, cukup menyukai dalam diam, tapi dia sudah mematahkan semua impian itu. Dasar Kadafi bodoh, bodoh, bodoh!" Kirana mengumpat kesal  sambil mencoba mengusap wajahnya yang sudah basah akan guyuran hujan.

Ia melihat sekeliling, hujan semakin deras, dan jalan raya mulai sepi, hanya beberapa mobil yang masih berkeliaran. Ia tidak peduli basah kuyup, tidak peduli bagaimana pandangan orang karena dia hujan-hujanan, sebab tidak ada lagi yang perlu disembunyikan. Dia hanya gadis kampung yang bekerja di kota, mencoba mencari kebahagiaan yang selalu gagal.

"Aku tahu kamu keren, kamu artis, kamu terkenal dan segudang kelebihan itu, tapi bukan berarti kamu seenaknya menjatuhkan harapanku. Apa begitu caramu memperlakukan perempuan? Tanpa kamu mengatakan itu pun aku tidak akan berharap, jujur aku benci, aku benci pada diriku sendiri yang sudah terlalu dalam menyukaimu. Kadafi bodoh!" Suara Kirana lantang, saling berbenturan dengan suara derasnya hujan.

Dulu ia pernah sesakit ini saat setiap cinta yang ia tanam tak pernah tumbuh subur bahkan mati sebelum berbunga. Kirana pun tidak pernah menyangka jika perasaan kagum pada idolanya itu kini berubah menjadi cinta.

***

Di sisi lain, Kirana tidak sadar bahwa saat itu Kadafi berdiri di tak jauh darinya sambil membawa payung. Kadafi sudah mengikutinya sejak Kirana keluar dari gerbang apartemen, memperhatikan dan mengikuti setiap langkah kemana pun Kirana pergi, bahkan setiap umpatan gadis itu Kadafi mendengar semuanya.

Tidak ada perasaan biasa saja setelah memutuskan harapan seseorang. Kadafi tidak pernah menyangka jika penyesalan atas keputusannya datang secepat ini. Siapa Kirana hingga membuatnya menangis menjadikan penyesalan besar di hidup Kadafi?

Cinta tidak mungkin datang secepat ini? Saat luka-luka di masa lalu masih menghantui.

Melihat Kirana kehujanan sambil duduk tertunduk menangis membuat hati Kadafi seakan diremas-remas. Pada akhirnya keegoisannya pun terpatahkan, ia berjalan mendekat, berdiri tepat di depan Kirana, dan memayunginya agar tidak kehujanan.

Kirana yang melihat sepasang sepatu putih di depannya segera mengangkat wajah, ia sudah menyangka siapa yang berdiri di depannya, tidak ada keterkejutan, tapi lebih kepada kekecewaan.

"Jangan menjadi manusia bodoh hanya karena cinta. Cukup aku yang bodoh dan gila, tapi kamu jangan." Kata Kadafi sambil menatap Kirana.

Kirana tersenyum getir.

"Lantas kenapa kamu mengikutiku? Apalagi sampai membawa payung seperti ini? Bukankah kamu memintaku untuk menjauh? Kamu merasa risih dan tidak suka dengan fans bodoh sepertiku?"

Pertanyaan penuh luapan emosi itu membuat Kadafi membisu, jawaban apa yang bisa diterima jika dirinya pun tidak tahu kenapa melakukan itu?

"Kamu pikir dengan kamu memberiku payung seperti ini tidak membuatku semakin terluka? Kamu seperti memberiku harapan lalu mengabaikanku tanpa alasan, kamu seperti memungutku dari tempat sampah lalu membuangnya kembali. Seperti itulah dirimu yang kulihat, Kadafi." Cecar Kirana, lalu berdiri dari duduknya, berdiri tepat di depan Kadafi.

Kadafi masih terdiam mendengar semua keluh dan ocehan Kirana. Ia biarkan Kirana terus memakinya, karena memang ini salahnya.

"Semua perasaan yang tumbuh ini tidak pernah kuminta, semua hadir begitu saja, lantas kenapa kamu seolah menyalahkanku dan melarangku memiliki perasaan padamu? Jika bisa tentu aku akan mencegahnya."

"Aku tidak mencegahmu! Aku hanya tidak ingin kamu terluka, karena aku bukan lelaki sebaik yang ada dalam pikiranmu."

Mungkin tidak masuk akal, tapi bahkan Kadafi sudah tidak tau kalimat apa yang tepat untuk menjelaskan semua.

Kirana menatap Kadafi nanar, alasan untuk membenci itu ternyata tak sekuat rasa cintanya. Perlahan, Kadafi meraih tangan kanan Kirana dan memberikan payung itu padanya.

"Kamu hanya belum tau siapa aku dan kepribadianku, semua perasaan yang kamu miliki itu sebenarnya bukan cinta, itu hanya rasa kagum. Suatu saat jika kamu menemukan kekuranganku, rasa itu akan hilang, dan kamu pasti akan membenciku." Kadafi menarik napas sebelum kembali melanjutkan kalimatnya.

"Aku sadar bahwa aku ini bukan lelaki baik. Saat aku mencintai seseorang, aku bisa gila karenanya, bahkan rela dilukai asal tetap bersamanya. Dan saat ini, kamu datang saat aku belum bisa melupakan Serly, sebab itu aku ingin menjaga jarak dan memintamu mundur, karena aku tidak mau menjadikanmu tempat pelarian. Aku tidak mau melukaimu, Kirana. Itu alasanku." Papar Kadafi dengan tatapan yang sangat dalam, membuat airmata Kirana kembali tumpah.

"Sekarang, mulai saat ini, kembalilah menjadi Kirana sebelum mengenalku. Aku yakin kamu akan lebih bahagia, dan jaga kesehatanmu, jangan sampai sakit karena aku belum menjadi dokter." Kata Kadafi, lalu melangkah pergi menembus hujan.

Kini Kirana terdiam mematung, pikiran dan hatinya kacau hingga terasa lemas sekujur tubuhnya.

***

Kirana menutup pintu kamar kos dengan pandangan kosong, lalu meletakkan payung dari Kadafi di belakang pintu. Semua kalimat yang Kadafi katakan masih terngiang-ngiang di kepalanya, membuatnya tidak sadar bahwa Rosa sedang menatap curiga kearahnya.

"Dari mana kamu sampai basah semua seperti itu?"

Kirana tidak menjawab dan memilih langsung masuk kamar mandi untuk berganti baju.

Kali ini Rosa memilih untuk tidak marah, sebab terlihat jelas wajah bengkak Kirana, juga payung itu. Rosa sadar itu bukan payung murahan yang dijual di pasar.

Beberapa saat kemudian Kirana keluar dari kamar mandi dengan handuk tersampir di pundaknya. Tanpa ada kata ia lekas mengambil air putih dan duduk di kursi.

"Kamu habis dari mana? Dan payung itu?  Kamu dapat dari mana?" Tanya Rosa yang duduk di depan Kirana, seperti sedang mengintrogasi.

"Apa kamu ada masalah? Kamu habis nangis kan?"

Kirana menarik napas dan meletakkan gelas yang masih tersisa sedikit air di meja sampingnya.

"Tidak ada masalah."

"Jangan bohong! Kamu pikir aku siapa sampai kau bisa membohongiku? Mata kamu bengkak, juga payung mahal itu? Tidak sembarang orang bisa membelinya."

Kirana memilih membaringkan tubuhnya di atas kasur dan segera menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Ia sedang tidak ingin menjawab pertanyaan apa pun, dan mengabaikan semua ocehan Rosa.

Dia hanya butuh ketenangan, mungkin dengan tidur semua rasa cinta dan kecewa itu akan hilang. Ia hanya bisa berharap begitu, semoga hari esok tidak perlu lagi ada nama Kadafi yang bergentayangan di batok kepalanya.


Happy Reading 🙏
Untuk yang menanti kebahagiaan di novel ini, sabar ya. Karena kita butuh hujan untuk bisa melihat pelangi 🥰💛🌈



Terjebak Dalam Masalalumu ( Selesai )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang