Melamarmu

406 41 3
                                    


Berbekal data dari administrasi rumah sakit, akhirnya Kadafi menemukan alamat rumah Kirana. Sungguh jika bukan takdir, tidak mungkin akan semudah ini bertemu.

Satu tarikan napas panjang yang membuat Kadafi begitu tegang dan gugup. Ini lebih gugup daripada saat evaluasi di depan konsulen.

"Assalamualaikum!"

Selang beberapa saat kemudian seorang wanita paruh baya lebih dengan tubuh sedikit lemah membuka pintu. Wanita berwajah pucat dengan jilbab toska panjang.

Kadafi tersenyum mengangguk menyapa.

"Mencari siapa ya?"

"Saya Kadafi, Bu. Teman Kirana."

Sesaat ibu terdiam mengamati, wajah yang tidak asing. Tentu saja, kini ibu baru sadar bahwa pemuda yang sedang berdiri di depannya itu adalah penyanyi yang dulu sering riwa-riwi di TV. Ya Tuhan??? Mendadak jantung ibu nyaris melompat kaget.

"Kamu penyanyi itu kan? Kirana sering memutar lagu-lagu kamu di handphone-nya. Ibu juga dulu pernah melihat kamu di TV."

Kadafi tersenyum malu, namun sesekali mengangguk membenarkan.

"Masya Allah! Mimpi apa saya ada artis yang datang ke rumah. Apa benar kamu teman Kirana? Tidak salah kah, Nak?" Ibu masih tidak percaya, Karena selama ini Kirana tidak pernah cerita jika teman dekat dia di jakarta itu adalah artis.

"Tidak sehebat itu, Bu. Saya sudah bukan artis lagi." Sahut Kadafi sangat malu bila masih disebut-sebut artis.

Kini ibu tersenyum mengangguk sambil mengingat-ingat siapa pemuda di hadapannya ini, tidak sekedar teman biasa. Mungkin pemuda ini yang sering diceritakan Kirana selama ini.

"Baiklah! Tunggu sebentar ya, Ibu panggilkan Kirana. Duduklah, Nak." Kata ibu mempersilahkan Kadafi masuk ruang tamu, namun Kadafi memilih duduk di teras depan.

Selama menunggu Kirana, Kadafi melihat sekeliling. Ia tidak menyangka jika selama ini Kirana hidup sederhana bersama ibunya. Mengingat perjuangan Kirana selama ini bersama ibunya membuat Kadafi merasa bangga dan begitu salut.

Ia pun merasa bersalah karena selama ini sudah membuat hubungan di antara mereka ambigu dan menggantung tidak jelas. Tidak seperti saat pacaran dengan Serly dulu, mungkin Kadafi terkesan lebih dingin dan tidak romantis, namun bukan seperti itu arti sebuah ketulusan. Semakin dewasa, Kadafi semakin tahu bagaimana harus mengendalikan hatinya.

"Bagaimana kamu tahu rumahku di sini?"

Sontak Kadafi terkejut dan membalikan badan. Ia melihat Kirana berdiri di depan pintu sambil menatapnya bingung.

Kadafi tersenyum, "Sangat mudah menemukan setelah kamu datang ke rumah sakit. Semua data ada di sana."

Kirana menarik napas, canggung dan memilih duduk di kursi kayu, disusul Kadafi yang ikut duduk tak jauh darinya.

"Maaf jika aku tanpa memberi kabar sebelumnya."

Kirana hanya tersenyum mengangguk, dan suasana canggung kembali. Entah kenapa setelah Kadafi benar-benar datang ke rumah, sulit bagi Kirana untuk bicara dan terbuka.

"Aku.." suara Kadafi tertahan, dan segera di sela oleh Kirana, "Kamu pasti merasa aku begitu murahan, karena meminta keseriusanmu, padahal aku saja tidak tahu bagaimana perasaanmu yang sebenarnya. Aku hanya tidak ingin tersiksa tanpa sebab, menunggu tanpa tahu kepastian dan berharap tanpa tujuan. Aku minta maaf jika sikapku membuatmu tidak nyaman."

Kadafi justru tersenyum mendengar itu, ternyata Kirana tidak berubah sama sekali, masih Kirana yang suka menilai tanpa tanya.

"Kenapa kamu tersenyum? Apa ada yang lucu?"

Terjebak Dalam Masalalumu ( Selesai )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang