24. Anak Kepiting

197 24 8
                                    

"Kangmas?" gumam Urangayu bertanya-tanya, kenapa wanita itu memanggil suaminya begitu?.

"Yayi Urangayu, itu semua-" belum sempat Bratasena menyelesaikan perkataannya, wanita paruh baya yang berada di sebelahnya menyambar.

Ia berkata, "siapa wanita yang kau panggil 'Yayi', Kangmas?"

"Dia-" Bratasena baru melontarkan satu kata yang kemuduan disergah.

"Kasih tau aku apa yang Kangmas sembunyikan selama Kangmas di Jodhipati!" seru Urangayu.

Antasena berdiri bersebelahan dengan Srenggini yang berhadapan dengan ayah mereka kebingungan, ketika ibunya yang berbicara mereka menoleh ke kiri, ketika ayah mereka berbicara mereja menatap apa yang dihadapannya, ketika wanita paruh baya itu berbicara mereka menoleh ke kanan.

Antasena garuk-garuk kepala kemuduan bertanya lantang, "terus aku ngapain?"

"DIAM!"

Suara berefek echo yang tercipta dari gelegar suara Bratasena, Urangayu, serta ibu dari adiknya, Srenggini, menggetarkan gendang telinganya. Antasena dan Srenggini saling tatap kemudian keduanya menggaruk-garuk kelapa masing-masing secara bersamaan layaknya sedang bercermin.

"Yayi, mau pulang?" tanya Antasena kepada kekasihnya. Janakawati menggeleng menandakan ia masih ingin berada disana.

"Dia kekasihmu?" tanya Srenggini penuh sopan santun. "Maaf, aku tahu ini lancang," lanjutnya.

"Bisa dibilang begitu, bisa juga tidak," jawab Antasena santai kemudian berduduk di lantai pendopo. "Sini," Antasena menepuk-nepuk lantai pendopo disebelah tempatnya duduk dengan posisi satu kaki terangkat, ia meminta agar adik barunya duduk disebelahnya.

Srenggini menuruti kemauan kakaknya. Ia duduk bersila dengan perasaan canggung dan sungkan dalam suasana yang tegang kala itu. Ditengah Antasena membujuk Janakawati untut turut serta bersamanya dan Srenggini, Bratasena beserta kedua wanita disebelah kanan dan kirinya duduk di meja tamu tepat di tengah pendopo.

***

Urangayu berjalan dipinggir sungai, langkahnya dibuntuti oleh suaminya yang bertubuh besar menyibak-nyibakkan batang pohon, ulur-uluran tanaman rambat, semak-semak, serta apapun yang menghalangi langkah istrinya. Ketika sampai ditengah pepohonan rimbun, tak ada yang mengganggu mereka berdua.

Bahkan nyamuk pun sungkan mengganggu kemesraan keduanya. Urangayu bersenda gurau dengan suaminya, ketika ia bangkit dari duduknya, Bratasena menoleh dengan cepat. Senyum keduanya merekah tatkala Urangayu menyipratkan air sungai Serayu kemudian berlari dan Bratasena mengejarnya.

Ketika Urangayu hendak turun ke sungai, Bratasena menggenggam jari-jari tangan kanannya. Bratasena tersenyum tipis kemudian bergumam lirih, "kena kau."

Ia menarik tangannya dengan gerakkan yang tiba-tiba seperti sengatan lebah, namun tetap menjaga kelembutannya mengingat yang ia perlakukan adalah seorang perempuan, dan kini perempuan itu adalah istrinya.

Bratasena menuntun Urangayu kedalam rangkulannya, perlahan tapi pasti rangkulan itu berubah menjadi dekapan. Lambat laun juga Bratasena menautkan bibirnya kepada bibir Urangayu, ketika ia menyadari bahwa Urangayu mengelak, ia langsung membablaskannya ke lekuk leher gadis itu.

Ia tak mau memaksa jika Urangayu tak mau. Bratasena adalah laki-laki, dan ia punya harga diri. Bratasena bukanlah sosok laki-laki yang mengemis kenikmatan kepada wanita. Ia mengendurkan dekapannya ketika leher Urangayu mengkerut. Ia merasakan Urangayu menancapkan kuku-kuku tangannya ke lengan bagian atas Bratasena dan seketika cengkeraman kuku Urangayu ikut mengendur seiring mengendurnya dekapan itu.

AntasenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang