Keluarga Dewangga

1.9K 122 6
                                    

"Selamat pagi Pa, Ma," sapa seorang gadis yang baru saja menapakkan kakinya di ruang makan.

Tidak ada yang menjawab, hanya keheningan yang mengisi ruang makan tersebut. Dua orang dewasa yang sudah duduk nyaman di kursi ruang makan tampak tidak acuh dan memokuskan atensi pada makanan di hadapan mereka. Seorang gadis yang sudah terlampau terbiasa diacuhkan hanya tersenyum kecil, ia melanjutkan langkahnya menuju meja makan. Bergabung bersama Papa dan Mama yang selalu tidak menganggap ada kehadirannya.

Sepersekian menit, dua orang lelaki dengan selisih usia terpaut lima belas menit turun dengan rusuhnya. Dua laki-laki tersebut terlihat asik pada dunia mereka sampai akhirnya tersenyum megah melihat keberadaan si bungsu di ruang makan.

"Oww lihat ada adik," goda laki-laki berambut sedikit ikal sambil mencubit gemas pipi sang adik.

"Kak ah." Gadis yang pipinya dicubit menepis pelan tangan sang kakak. Ia melayangkan tatapan maut pada kakak keduanya.

Berbeda dengan laki-laki berambut sedikit ikal, satu laki-laki lainnya yang membiarkan rambut lurusnya jatuh mengenai kening memperlakukan sang adik jauh lebih lembut. Ia meninggalkan usapan lembut pada puncak kepala sang adik sebelum akhirnya bergabung di meja makan. Kembar laki-laki tersebut tidak repot-repot menyapa dua orang yang menyebabkan mereka hadir di dunia.

"Langit," panggil wanita paruh baya yang berstatus sebagai ibu dalam keluarga mereka.

Laki-laki berambut ikal menoleh, ia menatap wanita yang melahirkannya dengan tatapan tidak bersahabat.

"Kenapa?"

"Kamu masih sibuk sama kegiatan organisasi kamu yang gajelas itu?"

Langit yang mengerti arah pembicaraan membuang pandangannya. Ia memilih bergulat dengan sarapan di hadapannya dibanding menatap sang ibu yang tidak pernah bersikap layaknya seorang ibu. Perempuan yang seharusnya menjadi tempat mengadu ternyaman, tidak pernah bersikap layaknya seorang ibu untuk anak-anaknya.

Tidak, tepatnya untuk anak-anaknya yang tidak bisa ia unggulkan di hadapan teman-temannya.

"Langit," tegur sang ibu dengan nada geram.

"Ngapain Mama pusing-pusing mikirin aku? Pikirin aja tuh anak kesayangan Mama."

"Kamu-"

"Hallo selamat pagi." Seseorang masuk ke dalam obrolan yang sempat memanas dengan nada ceria. Ia memasang ekspresi lugu seolah ia tidak melakukan intrupsi terhadap perbincangan anak kedua di rumah bersama sang ibu.

"Pagi sayang." Nada bicara sang ibu berubah seratus delapan puluh derajat. Sang ibu bahkan melayangkan senyuman sehangat mentari untuk putri pertama dalam keluarga.

"Maaf. Aku ganggu ya?"

Sang ayah yang semula hanya diam menggeleng, ia menarik lembut lengan sang putri agar bergabung dalam meja makan. Perempuan yang diperlakukan hangat tersenyum ceria, ia bahkan bersenandung kecil, mengabaikan atmosfer ruangan yang terasa mencekam. Dunianya, terlihat bahagia sekali.

"Anjani mau Mama buatin sesuatu?"

Anjani Kahyang Dewangga, perempuan kesayangan keluarga, tidak, lebih tepatnya perempuan kesayangan Papa dan Mama tampak berpikir. Kemudian ia menggeleng pelan, menolak tawaran sang Mama dengan senyuman.

"It's okay. Aku mau roti aja," tutur Anjani, netranya mengarah pada dua buah roti yang hendak diambil oleh Aruha, kembarannya.

"Yah rotinya mau dimakan sama Runa ya?" Anjani memasang raut sedih. "Nggak apa deh, aku bisa makan nasi goreng," lanjut Anjani.

Aruna Kahyang Dewangga, perempuan yang berstatus sebagai kembaran non-identik Anjani meremat satu tangan yang terletak di atas rok sekolahnya. Ia dengan terpaksa melepas sandwich yang baru disentuhnya saat menerima tatapan mengintimidasi dari sang ayah. Lagi dan lagi, ia merelakan apa yang seharusnya menjadi miliknya untuk Anjani.

"Buat kamu aja, Jan," ucap Aruna.

"Ih serius? Hehe makasih ya Runa, love you." Anjani tersenyum bahagia. Dengan hati riang ia membawa roti sandwich kesukaan Aruna ke piringnya.

"Nanti Abang beliin yang lebih enak, ya?" bisik Laut, kembaran Langit.

Aruna memaksakan sebuah senyuman walau hatinya berdenyit ngilu. "Okay, Kak."

Aruna juga ingin, ingin menjadi kesayangan Papa dan Mama.

•••

"Aku sama Kak Langit kan hari ini?" Anjani yang berjalan memimpin jalan di antara Langit, Laut, dan Aruna menoleh pada sang kakak.

Langit yang malas berinteraksi dengan Anjani tidak menjawab, ia memilih masuk lebih dahulu ke dalam mobil. Anjani sendiri tersenyum melihat tingkah Langit yang kentara sekali membencinya, ia menyempatkan tersenyum pada Laut dan Aruna sebelum menyusul Langit masuk ke mobil. Namun, sebelum menutup pintu, Anjani memanggil Laut yang sedang bersiap di motornya.

"Kak Laut, jangan lupa ya jumat ini aku ikut sama Kakak," tutur Anjani dengan nada yang sengaja dinaikkan.

Laut hanya mengangkat ibu jarinya sebagai tanggapan. Lagi-lagi senyum Anjani terbit, bahagianya, terlihat sederhana sekali. Jika orang-orang tidak mengenal Anjani, mungkin mereka akan menganggap Anjani gadis yang sangat ramah. Padahal empat saudaranya akan berteriak kencang-kencang mengatakan hal sebaliknya.

"Okay, let's go," ucap Anjani setelah siap memasang sabuk pengamannya. Lengannya terulur, bersiap menyetel musik agar suasana mobil tidak terasa hening.

"Jangan sentuh apa-apa." Nada bicara dingin Langit menyapa indra pendengaran Anjani.

Anjani tidak peduli, gadis berwatak keras kepala tersebut malah dengan lancang menyentuh bagian mobil Langit. Ia bahkan sudah menghubungkan ponselnya dengan mobil sang kakak. Anjani berani bersikap demikian karena ia sudah kebal menghadapi rasa benci Langit. Gadis yang membiarkan rambut sepunggungnya pagi ini terurai tahu Langit tidak akan berani bermain tangan padanya.

"Lo tuli?" sentak Langit sambil menepis tangan Anjani yang hendak menaikkan volume di mobil.

Decakan Anjani terdengar, ia membanting tubuhnya pada sandaran kursi. "Masih pagi udah marah-marah aja ih. Pantesan masih jomblo."

"Diem," tekan Langit.

Sayangnya ucapan Langit dan segala tindakan Langit tidak membuat Anjani gentar. Dengan gerakan secepat kilat, gadis manis dengan dua mata indah memutar tombol volume hingga suara musik mengalun mengisi ruang sepi. Senyum penuh kemenangan Anjani terlihat kala menerima lirikan maut dari sang kakak.

Anjani terlihat jauh lebih tenang setelah memenangkan pertikaian pagi ini bersama Langit. Saat ini, si gadis penghuni rangking satu di angkatannya tengah menatap hiruk pikuk jalanan ibu kota melalui kaca jendela. Netranya berbinar melihat seorang adik kecil berbincang hangat dengan kakaknya di sepeda.

"Lucu," gumam Anjani.

Ingatan Anjani terlempar ke belakang, ia ingat jelas ia juga pernah berada di posisi sang adik. Berbagi obrolan hangat dan tertawa bersama sang kakak. Mengenang kisah masa lalu, Anjani melirik Langit yang menatap lurus jalanan di kursi pengemudi. Laki-laki periang dan tidak bisa diam tersebut selalu bersikap diam di samping Anjani.

"Kak," panggil Anjani pelan.

Langit tidak menjawab, ia hanya melirik Anjani sekilas sebagai respon.

"Minggu nanti bonceng aku naik sepeda yuk?"

"Males."

•••

Sambatan Anjani:

Sambatan Anjani:

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
cowardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang