Nadin tidak berangkat ke butik sebab kemarin ia baru saja membeli beberapa furnitur dan memutuskan untuk menatanya hari ini. Selepas memberi arahan pada beberapa pegawai, Nadin berjalan menuju dapur. Ia berniat meminta pekerja rumah tangga menyiapkan camilan.
"Desi tolong pindahin camilan dari kulkas yang kemarin saya beli buat pegawai di depan, sama siapin minumnya juga ya," pinta Nadin pada seorang wanita yang usianya hampir setara dengannya.
"Baik, Bu, tapi saya antar makanan untuk Non Aruna dulu ya, Bu," jawab Desi dengan sopan.
Nadin terdiam sejenak. Ia lalu mengingat percakapannya dengan sang sulung tadi pagi. Angkasa bilang, kemarin Aruna jatuh pingsan dan dilarikan ke rumah sakit, Angkasa juga meminta Nadin untuk memperhatikan Aruna dengan nada penuh permohonan.
Senyum kecil Nadin terukir, putra sulungnya terlihat dewasa sekali. Nadin lantas mengulurkan tangan, mengambil alih nampan berisi bubur, minum, dan obat-obatan milik Aruna.
"Biar saya aja, Des. Kamu buatin minum sama siapin camilan aja," tutur Nadin akhirnya.
Setelah berujar demikian, Nadin berjalan menaiki tangga menuju kamar putrinya yang berada di lantai dua. Langkahnya melambat beberapa meter mendekati kamar Aruna, rasanya sudah lama sekali tidak mengunjungi kamar putri bungsunya.
Mengetuk pintu, Nadin kemudian masuk tanpa menunggu persetujuan sang putri. Tatapannya kontan tertuju pada seorang gadis yang tengah tertidur lelap dengan selimut sebatas dada. Wajahnya terlihat pucat, bahkan wajahnya terlihat menunjukkan ketidaknyamanan.
"Aruna," panggil Nadin pelan setelah duduk di tepian ranjang. Jemarinya terulur menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah Aruna. Hangat, Nadin bisa merasakan suhu tubuh putrinya.
"Aruna," panggil Nadin sekali lagi.
"Mama?" lirih Aruna. Netranya terbuka perlahan, jelas sekali terkejut atas keberadaan sang mama.
"Bangun, makan," ucap Nadin singkat. Wajahnya tidak menampilkan ekspresi, namun tangannya terulur mengambil sebuah mangkuk berisi bubur.
"Mama nggak kerja?" tanya Aruna sambil berusaha duduk bersandar pada kepala ranjang.
"Nggak usah banyak tanya, cepet."
Aruna menerima mangkuk yang diulurkan mamanya setelah bersandar pada kepala ranjang. Tanpa banyak bicara, Aruna menyuapkan bubur diiringi rasa suka cita. Meski Nadin tidak menyuapinya seperti ia menyuapi Anjani setiap sakit, setidaknya Aruna senang dengan keberadaan saat ini.
Nadin sendiri bersikap tidak acuh, ia memilih mengedarkan pandangan. Menilik kamar bernuansa biru muda milik Aruna. Beberapa lukisan terlihat mengisi celah kosong di dinding. Tatapan Nadin lalu berfokus pada satu titik, tempat di mana sebuah lukisan penuh coretan berada. Nadin tidak mengerti banyak tentang seni, tetapi entah mengapa, Nadin bisa merasakan amarah dari lukisan yang ditatapnya.
"Kamu masih sering melukis?"
Aruna mengangkat pandang dari bubur di pangkuannya yang sudah hampir habis. Tatapannya ikut menatap lukisan yang tengah ditatap Nadin. Sebuh senyuman kecil tersungging di kedua sudut bibir Aruna.
"Masih, Ma."
Nadin mengangguk tanda mengerti. "Cepat habiskan buburnya."
"Aku kenyang, Ma."
"Kamu-" Nadin menghentikan niat mengomel melihat Aruna meremas erat sendok makannya. Ia mengambil alih mangkuk dari tangan Aruna, kemudian bangkit berdiri.
"Kalau gitu Mama turun, obatnya diminum nanti."
Aruna tidak menjawab, ia memilih memperhatikan langkah besar Nadin yang tiba-tiba terhenti di depan pintu. Nadin kemudian memutar tubuh, wanita paruh baya kesayangan Aruna tersebut menatap Aruna intens.
KAMU SEDANG MEMBACA
coward
Teen FictionKembaran Anjani mengatakan, Anjani hanyalah gadis picik yang merebut orang-orang tersayang dari sisinya. Ketiga kakak laki-laki Anjani mengatakan hal serupa. Mereka bilang, Anjani tidak lebih dari gadis pengemis perhatian dalam keluarga mereka. Pada...