Rumah sakit pada sore hari terlihat lengang. Terlihat beberapa pasien bercengkrama di koridor dekat jendela yang mengarah langsung pada taman rumah sakit. Perawat juga terlihat berlalu lalang, mendorong maupun membawa alat-alat medis seusai melakukan kunjungan pasien.
Dari ujung koridor yang menjadi pemisah antara ruang rawat dengan ruang intensif gawat darurat, seorang laki-laki dalam balutan seragam khas SMA Nusa Bangsa berjalan dengan langkah besar. Raut wajahnya menunjukkan ketenangan, namun hatinya bergemuruh riuh. Dihujani perasaan khawatir akan kondisi gadisnya.
Netranya dengan teliti mengamati pintu demi pintu yang ia lewati. Berharap lekas bertemu dengan pintu bertempelkan tulisan Mawar 101. Sepuluh langkah kemudian, ia menemukannya, menemukan ruang rawat yang disebutkan oleh resepsionis lima menit lalu saat ia tiba di lobby rumah sakit.
Menghela napas sejenak, Jenggala mengetuk pintu, kemudian masuk tanpa menerima sahutan dari dalam. Tidak ada suara, tidak ada kehidupan. Hening dan dingin yang menyambutnya saat ia memijaki ruang rawat.
Jenggala meletakkan plastik berisi donat di meja ruang rawat sebelum akhirnya mendekati ranjang. Sekitar tiga puluh detik, Jenggala berdiri diam. Mengamati wajah pucat gadisnya. Jenggala benar-benar benci melihat gadis kesayangannya sakit seperti ini. Ia lebih rela diganggu Anjani seharian penuh dibanding harus melihat Anjani terbaring tidak berdaya di atas ranjang.
Tangan kanan Jenggala akhirnya terulur, ia mengusap lembut kening Anjani. Membuat tidur damai perempuan dalam balutan baju rumah sakit tersebut terusik. Perlahan, netra Anjani mengerjap, menyesuaikan cahaya yang masuk pada kedua netranya.
"Gala?" tanya Anjani dengan suara serak.
Jenggala menganggukkan kepala sambil lanjut mengusap kening Anjani. "Maaf ya jadi kebangun."
Anjani menggeleng. "Kamu sama siapa? Sekarang jam berapa? Udah pulang sekolahnya?"
"Sama Panca, sama Nada. Jam lima. Udah." Jenggala menjawab pertanyaan beruntun yang diajukan Anjani.
"Ohh," sahut Anjani, ia memegang jemari Jenggala yang masih bertengger di keningnya. "Bantuin bangun dong."
Jenggala menarik tangan, bukan karena ia menghindar. Lelaki berperawakan tinggi tersebut berjalan sedikit menuju ujung ranjang, memutar tuas agar Anjani dapat bersandar dengan nyaman.
"Udah minum obat?" tanya Jenggala setelah kembali ke posisi awalnya.
"Udah sebelum tidur," ucap Anjani. Ia menatap keberadaan Jenggala dengan netra berbinar, senang melihat Jenggala yang menatapnya dengan tatapan penuh kekhawatiran.
"Sini duduk." Anjani menepuk space kosong ranjang tempatnya bersandar.
Tanpa banyak komentar, Jenggala memilih menurut. Ia kini balik menatap Anjani. Membiarkan gadis sayu di hadapannya mengetahui betapa kalutnya ia.
"Gue nggak suka liat lo sakit gini, Jan," jujur Jenggala.
Anjani mengangkat satu alisnya, ekspresinya berubah secepat kilat. Kini ia menatap Jenggala dengan tatapan ragu. "Kenapa harus nggak suka? Emangnya kamu peduli sama aku? Bukan harusnya kamu seneng aku nggak masuk sekolah? Nggak ada yang ganggu kamu, kan, jadinya?"
Jenggala memejamkan matanya sejenak. Lantas ketika kedua bola mata berwarna coklat bertemu dengan bola mata jernih milik Anjani. Jenggala berujar lirih, "Nggak, Ra. Lo salah."
"Jangan gini, Jenggala." Anjani menggelengkan kepalanya. "Aku nggak suka sikap abu-abu Kamu. Sedetik kamu peduli, sedetik lainnya kamu nggak peduli. Diri kamu yang sebenernya itu yang mana? Jenggala mana yang sebenernya ada untuk aku?"
Hening kembali menyapa. Anjani diam menunggu jawaban, Jenggala diam memikirkan jawaban. Suara detik dari jam dinding bahkan terdengar nyaring, memecah hening di tengah ruang rawat yang dingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
coward
Teen FictionKembaran Anjani mengatakan, Anjani hanyalah gadis picik yang merebut orang-orang tersayang dari sisinya. Ketiga kakak laki-laki Anjani mengatakan hal serupa. Mereka bilang, Anjani tidak lebih dari gadis pengemis perhatian dalam keluarga mereka. Pada...